Logika ialah titipan ahli-ahli filsafat yunani kuno sejak abad ke 5
sebelum masehi, boleh dikatakan yang pertama kali menggerakkan ilmu mantiq
(logika) ialah golongan sofisme yang perguruanya mementingkan tentang soal-soal
perdebatan
Adapun peletak batu pertamanya ialah Socrates, kemudian dilanjutkan
oleh plato dan dilengkapi lagi oleh Aristoteles, yang menyusun ilmu ini dengan
pembahasan-pembahasan yang teratur dan dibuat persoalanya fasal demi fasal
serta ilmu ini dijadikan dasar dari ilmu falsafah. Dengan demikian maka
Aristoteles diberi gelar guru pertama dari ilmu pengetahuan. Ilmu ini sejak
dari Aristoteles tidak ada tambahan apa-apa. Baru setelah lahir ahli-ahli
falsafah islam diabad pertengahan, disitulah banyak tambahan dalam
persoalan-persoalan apalagi pembahasan mengenai lafadh-lafadhnya banyak
ditambah oleh ahli falsafah islam. Farabi yang disebut guru kedua dalam ilmu
pengetahuan. Guru kedua membaharui pembahasan ilmu mantiq (logika) ini, dimana
ilmu mantiq (logika) dulu hanya merupakan teori-teori belaka, tetapi sejak
farabi kemudian dimulainya ilmu mantiq (logika) ini dipelajari secara Amali
(praktek; dalam arti tiap-tiap qadlijah diuji kebenaranya).[1]
Hal ini memberikan jalan pada pembahasan mantiq (logika) diabad
baru yang dipelopori oleh Hebert Spencer dengan menggunakan percobaan yang
berdasarkan panca indra, juga percobaan Descartes dan Immanuel kant yang dalam
pembahasanya banyak juga berpedoman pada mantiq (logika) dan tidaj sedikit pula
sumbangan mereka terhadap ilmu mantiq (logika) diabad baru.
Dalam sejarah perkembanganya, ilmu logika mengenal dua istilah,
yaitu logika tradisional dan logika modern. Logika tradisional adalah logika
yang menekankan pada analisis bahasa, bercorak deduktif, dan secara historis
memang temuan filsuf klasik, sedang logika modern merupakan modifikasi dan
revisi oleh filsuf zaman modern, bercorak induktif dan diperkaya dengan
simbol-simbol, termasuk symbol matematis, meski masalah bahasa tetap tidak
ditinggalkan.
Karena bagi logika, bahasa adalah symbol dari pemikiran dan apa
yang dipikirkan manusia bisa disimbolkan dengan bahasa, itulah sebabnya mengapa
logika mempunyai kedekatan dengan ilmu bahasa. Meski jelas logika bukan bagian
dari ilmu bahasa, tetapi sekali lagi, merupakan bagian dari ilmu filsafat, logika
membicarakan hkum-hukum pikiran, sedang ilmu bahasa membicarakan hokum-hukum
bahasa, keduanya memang tidak bisa dipisahkan, tetapi tetap harus dibedakan.
Begitulah, bagi logika, apa yang dipikirkan manusia meski bisa dibahasakan. Itupun ternyata masih belum
cukup, karena “bahasa” itu masih harus disampaikan, dipahamkan, dan diujikan
kepada banyak orang atau komunitas. Jika “umum” mengakui, itu berarti “logis”.
Disinilah sebabnya, mengapa logika juga terlihat ‘berkutat’ pada analisis
bahasa, meski penekananya lebih kepada persoalan makna bahasa.[2]
[1]
Prof. K. H Taib
Thahir Abd. Mu’in (guru besar pada I.A.I.N Jogjakarta dan Jakarta), Ilmu
Mantiq (logika), penerbit Wijaya, cetakan pertama 1966 jakarta. Hal:18
[2] Mohammad
Muslih, Filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis, Penerbit Belukar, Cetakan
Pertama 2005 Yogyakarta. Hal: 105-106
Kunjungi Lapak Kami Dhamar Mart,,, Harga kesepakatan penjual dan pembeli.
Instagram @dhamar_mart
Instagram @dhamar_hijab
FB Dhamar Mart
Instagram @dhamar_mart
Instagram @dhamar_hijab
FB Dhamar Mart
Share it to your friends..!
0 comments "Sejarah Perkembangan Logika", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment
Anda peminat madu asli?
Kunjungi target='blank'>Amiriyah madu