BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan
kehadirat Allah SWT tuhan semesta alam. Tak lupa shalawat dan salam kita
haturkan ke baginda Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Pada kesempatan kali
ini kami memilih tema “Pemikiran Muhammad Sahrur Tentang Ekonomi Islam ”
untuk makalah ini.
Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini
Ilmu Ekonomi Islam sedang mengalami perkembangan yang pesat. Diawali dengan
Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Reksadana Syariah, dll. Semuanya untuk
menghindari Riba, yang jelas di haramkan Allah swt, sehingga apa yang kita
dapatkan mendapatkan berkah. Maka pada kesempatan ini kami ingin mendalami
tentang pemikiran Muhammad Syahrur mengenai ekonomi islam, yang
berkaitan dengan Riba.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah
ini belum sempurna, dan masih banyak kesalahan. Oleh karena itu kami dengan
senang hati menerima masukan berupa kritik atau saran yang membangun dari
kawan-kawan sekalian. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Ely Masykurah, SE,MSI selaku dosen mata kuliah Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam dan kawan-kawan yang selalu mendukung dalam proses
penyusunan makalah ini.
Kami berharap semoga hasil makalah ini
berguna dan bermanfaat bagi semua pembaca, agar pembaca sekalian dapat
mengambil pengetahuan dari makalah yang telah kami buat. Amin...
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana biografi Muhammad Syahrur?
2. Apa saja karya-karya Muhammad Syahrur ?
3. Bagaimana pemikiran ekonomi Muhammad Syahrur?
4. Perbedaan bunga Bank dan riba menurut
Muhammad Syahrur ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Muhammad
Shahrur
Muhammad
Syahrur bin Deib lahir di Damaskus, Syiria pada tanggal 11 April 1938 M, buah
perkawinan dari seorang ayah bernama Deib bin Deib Syahrur dan ibu bernama
Siddiqah bint Salih Filyun. Dari istri tercintanya, Azizah, ia dikaruniai lima
orang anak. Dari kelima anak tersebut masing-masing diberi nama Thariq, Lays,
Basil, Ma’sun dan Rima dan ia juga mempunyai dua orang cucu yaitu Muhammad dan
Kinan.
Muhammad Syahrur memulai
pendidikannya di Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas di lembaga
pendidikan Abd al-Rahman al-Kawakibi, di pinggiran kota sebelah selatan
Damaskus, dan selesai pada tahun 1957 dalam usia 19 tahun. Kemudian melanjutkan
studinya di bidang Teknik Sipil di Moskow, Rusia dengan beasiswa dari
pemerintah Syiria dan berhasil meraih gelar Diploma dalam teknik sipil pada
1964.
Tahun
1965, Syahrur diangkat sebagai asisten dosen di Fakultas Teknik Sipil
Universitas Damaskus. Kemudian oleh pihak Universitas, ia dikirim ke Irlandia
untuk melanjutkan pendidikan Magister dan Doktoral di Universitas College,
Dublin, Irlandia dengan spesialisasi bidang Mekanika Tanah dan Teknik Fondasi.
Gelar Magister (Master of Science) diperoleh pada tahun 1969 dan gelar Doktor
pada 1972.
Ketika
kembali ke Syiria, Dr. Ir. Muhammad Syahrur diangkat sebagai Professor Jurusan
Teknik Sipil di Universitas Damaskus mulai tahun 1972 sampai 1999 dan mengajar
di sana hingga saat ini dalam bidang Mekanika Pertanahan dan Geologi. Selain
sebagai dosen, pada tahun 1982 sampai 1983, Muhammad Syahrur dikirim kembali
oleh pihak Universitas Damaskus untuk menjadi tenaga ahli pada al-Sa’ud Consult
Arab Saudi serta bersama beberapa rekannya di Fakultas Teknik membuka Biro
Konsultasi Teknik Dar al-Isytisyarat al-Handasiyyah (En-Gineering Consultancy)
di Damaskus.[1]
B.
Karya-karya Muhammad Syahrur
Tulisannya banyak tersebar di Damaskus, khususnya dalam bidang
spesialisasinya diantaranya teknik fondasi bangunan dalam tiga volume dan
mekanika tanah. Adapun bukunya al-kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, yang
sangat controversial itu, diselesaikannya dalam jangka waktu yang lama ( mulai
tahun 1970-1990). Tepatnya sejak dia masih dalam proses penulisan disertai
doktoralnya di Irlandia sampai diterbitkan untuk pertama kalinya di Damaskus
dan selanjutnya edisi Kairo diterbitkan pada tahun 1992 oleh Sina Publisher dan
al-Ahali penerbit avant garde gerakan pencerahan di Mesir saat ini.
Terbitnya buku al-Kitab wa al-Qur’an
: Qira’ah Mu’ashirah diakui oleh Jamal al-Banna,seorang intelektual Mesir,
tokoh gerakan buruh dan adik kandung Hasan al-Banna, sebagai metode baru dalam
interpretasi teks Kitab Suci al-Qur’an. Buku tersebut telah memancing kontroversi
yang sangat keras, yang kemudian bermunculannya beberapa buku dari pihak yang
pro maupun yang kontra. Dantaranya yang bisa disebut di sini antara lain ; Tahafut
Qirâ’ah Mu’âshirah (Kerancuan Bacaan Kotemporer) oleh Dr. Munir Muhammad
Thâhir al-Syawwâf dan buku al-Furqân wa al-Qur’an oleh Syekh Khalid Abd
ar-Rahim al-‘Akk. Namun secara garis besar, karya karya beliau dapat
dikelompokkan kedalam dua bidang:
1. Bidang Teknik meliputi : Al-hadasah
al-Asasiyyah (3 volume) dan Al-Hadasanah al-Turabiyyah.
2. Bidang keislaman (semua diterbitka oleh
Al-Ahali li al-Tiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, Damaskus) : Al-Kitab wa
al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah (1990), Dirasah Islamiyyah Mu`ashirah fi
al-Daulah wa al- Mujtama` (1994), Al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam
(1996), dan Masyru` Mitsaq al-`Amal al-Islami (1999).
Di samping itu, Syahrur juga kerap
menyumbangkan buah-pikirannya lewat artikel-artikel dalam seminar atau media
publikasi, seperti “The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies”, dalam,
Muslim Politics Report, 14 (1997), dan “Islam and the 1995 Beijing World
Conference on Woman”, dalam, Kuwaiti Newspaper, dan kemudian dipublikasikan
juga dalam, Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York &
Oxford: Oxford University Press, 1998).[2]
C. Pemikiran Beliau Mengenai Ekonomi
Pandangan Muhammad Syahrur tentang riba
tidak dapat dilepaskan dari teori batas (nazhariyyah al- hudud) yang
diajukannya berkenaan dengan hukum Islam secara umum. Berdasarkan kajiannya
terhadap al-Qur’an, ia menyimpulkan bahwa aturan hukum Islam sesungguhnya
bersifat dinamis dan elastis yang dapat menampung berbagai kecenderungan
perubahan kehidupan umat manusia dari masa ke masa dan dari satu tempat ke
tempat lain sepanjang dalam batas-batas yang ditentukan oleh Allah. Batas-batas
yang dimaksud yaitu batas bawah (al-hadd al-adna), dan batas atas (al-hadd
al-a’la). Batas bawah
merupakan batas minimum dari tuntutan hukum, sementara batas atas adalah batas
maksimum. Perilaku hidup yang melampaui batas bawah dan atau melampaui batas
atas yang telah ditentukan dipandang telah melanggar hukum dan wajib dijatuhi hukuman
yang sesuai menurut pelanggarannya.
Berdasarkan
pengamatannya terhadap sejumlah ayat yang berkenaan dengan aturan hukum atau
perilaku hidup manusia pada umumnya, Muhammad Syahrur menyimpulkan adanya enam
kategori hukum dalam kaitannya dengan teori batas diantaranya :
1.
Ketentuan
hukum yang hanya diberikan batas bawahnya, misalnya dalam hal macam-macam
makanan yang diharamkan. Maksudnya jenis-jenis makanan dan minuman yang
diharamkan dalam Qur‘an limitasinya bersifat minimal.
2.
Ketentuan
hukum yang hanya diberikan batas atasnya, contohnya hukuman bagi tindak pidana pencurian,
hukuman potong tangan yang disebutkan dalam Qur‘an merupakan bentuk hukuman maksimal.
Jadi, dimungkinkan adanya hukuman dalam bentuk lain yang kualitasnya di bawah hukuman
potong tangan.
3.
Ketentuan
hukum yang memiliki batas bawah dan atas sekaligus yakni yang berlaku
dalam hukum waris (fara’id). Bagian anak laki-laki yang dua kali lipat
anak perempuan merupakan batas atasnya, sementara bagian anak perempuan
yang hanya setengah bagian anak laki-laki merupakan batas bawahnya. Maksudnya
bagian anak laki-laki sudah pasti, tidak bisa lagi ditambah, tetapi
dimungkinkan untuk dikurangi hingga mendekati perimbangan dengan bagian anak
perempuan. Sebaliknya, bagian anak perempuan tidak dapat lagi dikurangi,tetapi
dimungkinkan untuk ditambah hingga mendekati perimbangan dengan bagian anak
laiki-laki.
4.
Ketentuan yang batas bawah dan atasnya berada dalam satu
garis sehingga ia tidak dapat dikurangi maupun ditambahi, dan ini berlaku
pada hukuman bagi orang yang berbuat zina (100 kali jilid) dengan syarat adanya
empat orang saksi.
5.
Ketentuan
yang memiliki batas bawah dan atas, tetapi batas ini tidak boleh disentuh
karena bila menyentuh batas berarti telah terjatuh dalam larangan. Ketentuan
ini berlaku pada pergaulan laki-laki dan perempuan di mana batas bawahnya
berupa kondisi tidak adanya persentuhan (interaksi) sama sekali di antara lawan
jenis, sementara batas atasnya adalah zina.
6.
Ketentuan
yang memiliki batas atas yang bernilai positif (+) dan batas bawah yang negatif
(-). Batas atas tidak boleh dilampaui, sementara batas bawah boleh.
Dalam
bentuk keenam inilah pandangan Muhammad Syahrur
tentang riba
ditempatkan. Menurut Muhammad Syahrur
bentuk keenam dari teori batas ini berlaku, misalnya, dalam hal hubungan
kebendaan di antara sesama manusia. Batas atas, yang positif (+) berupa riba,
sedangkan batas bawah yang negatif (-) berupa zakat. Batas bawah bisa
dilampaui, yakni dengan memberikan sedekah sunah, di samping membayar zakat
yang memang hukumnya wajib. Di antara kedua batas ini (positif dan negatif)
terdapat keadaan yang bernilai nol, yang wujudnya berupa pemberian kredit
dengan tanpa memungut bunga (al-qard al-hasan). Setelah menghimpun dan
menganalisis sejumlah ayat yang berkenaan dengan riba, Syahrur menyimpulkan
adanya empat poin penting mengenai riba yang mesti diperhatikan, yaitu:
a. Riba dikaitkan dengan sedekah.
b. Riba dikaitkan dengan zakat.
c. Ditetap kannya batas atas bagi bunga
(riba) yang dipungut.
d. Adanya kondisi yang bernilai nol.
Menurutnya, kendati riba merupakan
persoalan yang sangat rumit, bahkan bagi Umar ibn al-Khattab sekalipun, namun
karena keterkaitannya dengan zakat dan sedekah begitu kokoh, sementara keduanya
cukup jelas maknanya, maka untuk menyingkap makna riba dapat dilakukan dengan
memahami kedua hal tersebut (zakat dan sedekah). Melalui kerangka analisis semacam
ini, setelah sebelumnya ia memaknai riba dengan tumbuh dan tambah, Syahrur
akhirnya menyimpulkan adanya tiga kondisi menyangkut riba:
1. Pertama, berdasarkan Q.S.
al-Taubah: 60,
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ
لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ
ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٦٠
Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Fakir dan miskin termasuk
golongan orang yang berhak menerima zakat. Menurutnya miskin adalah orang yang
menurut kondisi sosial dan ekonomi yang ada, tidak mampu menutup hutangnya.
Terhadap orang dengan kondisi demikian,berlaku ayat: “Allah akan hapuskan
(berkah) riba dan tumbuh kembangkan sedekah” (al-Baqarah:276), di samping juga
ayat-ayat lain yang berisi kecaman keras terhadap praktik riba (al-Baqarah:275,
278, dan 279). Oleh karena itu, harta yang disalurkan kepada mereka pada prinsipnya
bukan dalam bentuk kredit, tetapi dalam bentuk hibah, dan pahalanya terserah
kepada Allah.
2. Kedua, terhadap
orang yang hanya mampu menutup hutang pokoknya dan tidak mampu membayar bunga,
maka diberikan pinjaman yang bebas bunga (al-qard al-hasan). Di sini berlaku
ayat 279 al-Baqarah yang menyatakan bahwa hanya harta pokok yang boleh diminta.
Kendati demikian,karena orang ini tergolong orang yang berhak menerima sedekah,
maka akan lebih utama jika pihak kreditur mau membebaskan piutangnya.
3.
Ketiga, terhadap para pengusaha yang nota bene bukan berkategori penerima
zakat, kredit yang diberikan dapat dipungut bunganya dengan ketentuan besarnya
tidak boleh melampaui batas yang telah ditentukan. Batas atasnya
adalah jumlah beban bunga yang harus dibayar sama dengan jumlah hutang
pokoknya. Hal ini berdasarkan ayat: “Hai orang-orang mu’min jangan makan riba
yang berlipat ganda” (Al ‘Imran:130).
Atas
dasar pandangannya tentang riba dengan berbagai kondisi objektif yang
melingkupinya sebagaimana disebutkan di atas, Muhammad Syahrur mengajukan tiga prinsip dasar
sistem bank Islam, yaitu:
1. Mereka yang berhak menerima zakat tidak
diberikan kredit, melainkah diberi hibah (sedekah)
2. Dalam kondisi tertentu dibuka
kemungkinan untuk memberikan kredit yang bebas bunga, yakni bagi mereka yang
pantas diberi sedekah.
3. .Dalam bank Islam tidak boleh ada kredit
yang tempo pembayarannya tidak dibatasi hingga beban bunga yang harus dibayar
lebih besar dari pada hutang pokoknya. Jika hal ini terjadi juga, maka pihak
debitur berhak menolak untuk membayar bunga yang melebihi batas tersebut.
Demikianlah teori yang dikemukakan
Syahrur tentang riba. Dapat disimpulkan bahwa menurutnya, bunga adalah riba,
namun ia boleh dipungut asal memperhatikan kondisi objektif pihak debitur.
Debitur dari kalangan anggota masyarakat yang termasuk dalam kategori
mustahiq zakat dan sedekah, termasuk orang yang hanya mampu membayar
hutang pokok, tidak boleh dipungut riba, bahkan sebagian dari mereka hendaknya
tidak diberi kredit, melainkan hibah. Selain dari kalangan mereka, riba boleh
dipungut, tetapi tidak boleh melebihi batas atas yang telah ditentukan.Dalam
konteks etika bisnis Islam, pemikiran Syahrur tentang riba memiliki implikasi
yang berbeda dari pandangan yang umum dikenal. Menurutnya, tidak setiap bisnis
yang melibatkan riba(bunga) itu dilarang, dan karenanya dianggap tidak etis.[3]
Riba dalam perjanjian kredit yang
dibebankan kepada kalangan pelaku bisnis dan orang-orang yang berekonomi kuat
tidaklah melanggar etika ataupun hukum Islam sepanjang riba yang dipungut tidak
melebihi batas maksimal yang telah ditentukan. Dengan demikian, bunga bank
konvensional menurut pandangan ini tidak dilarang karena bunga yang dipungut
umumnya tidak berlipat ganda. Selanjutnya, bisnis apapun yang melibatkan bank
konvensional sebagai mitra kerja dianggap tidak melanggar etika bisnis Islam.
Akan tetapi, bunga yang dipungut dari orang-orang yang tidak termasuk dalam
kategori ekonomi kuat ataupun pelaku bisnis sebagaimana yang disebutkan di atas
dianggap sebagai perilaku bisnis yang tidak etis. Dalam menyalurkan dana,
ataupun harta dalam bentuk yang lainnya, haruslah dilihat kondisi pihak-pihak
yang akan diberi. Sebagian di antara mereka,menurut kondisi sosial dan ekonomi
yang ada, mungkin pantas diberi kredit, tetapi bebas bunga, sebagian yang lain
mungkin pantas diberi sedekah saja. Para ahli ekonomi dan kemasyarakatan bisa
membantu menentukan kriteria yang kongkrit tentang golongan ekonomi yang
bagaimana yang pantas dipungut bunga dari kredit yang diterimanya, yang pantas
diberikan kredit tanpa bunga, dan yang seharusnya diberi hibah (sedekah), bukan
kredit.
Dengan demikian tampaklah bahwa
aturan hukum Islam, khususnya mengenai riba, bersifat dinamis dan elastis yang
penerapannya dapat mempertimbangkan kondisi objektif para pihak yang
terlibat dalam sebuah perikatan bisnis. Konsep riba “kontemporer” yang digagas
oleh Syahrur hendaknya dilihat dalam konteks gerak dinamis tersebut, gerak ini
ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat yang selalu berubah dari
waktu ke waktu. Konsep riba “kontemporer” yang diajukan Muhammad
Syahrur, sebagai salah satu bentuk teori yang muncul dari sekian banyak
teori tentang riba yang ada, pada dasarnya mengakui adanya Riba yang dilarang
dan Riba yang tidak dilarang, menurut kondisi objektif pihak-pihak yang
dibebani Riba. Riba (bunga) menjadi terlarang manakala ia dipungut dari
orang-orang fakir miskin dan golongan ekonomi lemah, yang menurut kondisi
sosial ekonomi yang ada, tidak mampu membayar bunga, atau bahkan hutang
pokoknya sekalipun. Sementara itu, terhadap orang-orang di luar itu, yang
termasuk dalam kategori orang yang tidak berhak menerima zakat dan sedekah,
seperti para pengusaha dan orang-orang yang berekonomi kuat lainnya, riba dapat
dipungut asal tidak melebihi batas atas yang telah ditentukan (Al ‘Imran: 130).
Jadi, menurutnya, keterlibatan Riba dalam bisnis tidak selalu bersifat tidak
etis karena perlu dilihat dulu kondisi objektif para pihak yang
terkait secara kasus per kasus dalam bingkai ketiga kondisi riba tersebut
Menurutnya bunga bank tidak
termasuk riba sebelum bunga itu mencapai 100% sebab larangan atas bunga adalah
bukan ketentuan dalam Islam. Sehingga masyarakat Islam boleh melakukan
transaksi dengan perbankan yang menerapkan sistem bunga. Pendapat Syahrur ini
ia bingkai dalam teori batasnya yang ke enam yaitu posisi batas maksimal
positif yang tidak boleh dilampaui dan batas minimal negatif yang boleh
dilampaui (Had al-’la Mujaban Wa Had al-Adna Saliban).
Posisi batas maksimal positif dan
tidak boleh dilampaui (Had al-’la Mujaban Wa Had al-Adna Saliban) yang dimaksud
adalah bunga bank tidak boleh mencapai 100% dari modal. Jika bunga mencapai
100% maka hukum riba dapat berlaku. Sedangkan batas minimal yang boleh dilewati
(Had al-Adna) adalah masalah zakat. Artinya bahwa ketentuan zakat yang 2,5%
dari harta masih bisa dilewati, karena dalam Islam menganjurkan umatnya untuk
menyuburkan shadaqah. Harta yang boleh dishadaqahkan, dalam Islam tidak ditentukan
nominalnya. Selain itu ia juga menjelaskan tentang bunga 0% yang dalam istilah
muamalah disebut dengan Qardul Hasan. Ketiga hal itulah yang menurut Syahrur
membuka jalan bagi aktivitas-aktivitas ekonomi yang melibatkan bunga harus
dipertimbangkan berdasarkan hukum dalam Islam. Menurut Syahrur bahwa Islam
mengajarkan kita agar menolong fakir miskin terutama masalah ekonomi.
Dengan ketiga konsep itu maka dapat
dijelaskan bahwa kita dapat memberikan pinjaman terhadap orang miskin tanpa
mengharapkan suatu imbalan atau pengembalian utang tanpa memberikan bunga
kepadanya. Sedangkan bunga dapat dibebankan kepada orang yang mampu atau
perusahaan-perusahaan besar yang meminjam uang untuk modal usahanya. Karena
yang dilakukan bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi juga untuk
berbisnis. Sehingga
ia dapat mencari keuntungan dari uang pinjaman tersebut. Tetapi dalam
memberikan bunga tidak boleh lebih dari 100% karena ini termasuk riba.[4]
D. Perbedaan Seputar Riba dan Bunga bank
Sejak semula riba diakui potensial
menimbulkan masalah karena ketidakjelasan makna sesungguhnya yang dikehendaki,
bahkan oleh sahabat Nabi SAW sekalipun. Oleh karena itu, tidak mengherankan
bila kemudian muncul banyak sekali teori ataupun pandangan tentang riba.
Diantara pandangan yang umum diterima ( jumhur ) adalah bahwa Riba
dibedakan menjadi dua, yakni Riba Nasi’ah dan Riba Fadl . Riba nasi’ah dipahami
sebagai pembayaran hutang yang harus dilunasi oleh debitur lebih besar daripada
jumlah pinjamannya sebagai imbalan terhadap tenggang. waktu yang
diberikan, dan kelebihan tersebut akan terus meningkat menjadi berlipat-ganda
bila telah lewat waktu. Riba fadl dikenal sebagai melebihkan keuntungan
(harta) dari satu pihak terhadap pihak lain dalam transaksi jual-beli atau
pertukaran barang sejenis dengan tanpa memberikan imbalan terhadap kelebihan
tersebut. Jadi, Riba Nasi’ah terjadi dalam transaksi
hutang-piutang,sementara riba fadl terjadi dalam transaksi jual-beli.
Dalam konteks sistem ekonomi modren,
Riba Nasi’ah biasanya dihubungkan dengan bunga bank. Persoalan berkisar
pada apakah bunga bank hukumnya sama dengan riba yang dilarang dalam Qur’an
ataukah berbeda. Para ahli hukum dan ekonomi Islam dalam hal ini secara umum terbagi
kepada dua pandangan yang berbeda. Sebagian dari mereka menganggap bunga
bank sebagai riba yang dilarang dalam Islam, sementara sebagian yang lain
berpendapat sebaliknya.
Perbedaan pandangan ini tentu saja
berpengaruh terhadap penilaian mengenai suatu Bisnis sebagai etis atau tidak
etis ketika melibatkan bunga bank. Bagi yang menganut pandangan yang terakhir tentu
akan berpendapat sebaliknya.[5]
BAB III
KESIMPULAN
1. Muhammad Syuhrur dilahirkan di Damaskus,
Suriah, pada 11 Maret 1938.Menjalani pendidikan dasar dan menengahnya di
lembaga pendidikan ‘Abd al-Rahman al-Kawakibi, Damaskus, dan tamat tahun 1957.
2. Namun secara garis besar, karya-karya
beliau dapat di kelompokkan kedalam 2 bidang:
a. Bidang Teknik meliputi: Al-Handasah
al-Asasiyyah (3 Volume) dan Al-Handasah al-Turabiyyah.
b. Bidang keislaman (semuanya diterbitkan
oleh Al-Ahali li al-Tiba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi`, Damaskus): Al-Kitab wa
al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah (1990), Dirasah Islamiyyah Mu`ashirah fi
al-Daulah wa al-Mujtama` (1994), Al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996),
dan Masyru` Mitsaq al-`Amal al-Islami (1999).
3. Menurutnya bunga bank tidak termasuk
riba sebelum bunga itu mencapai 100 % sebab larangan atas bunga adalah bukan
ketentuan dalam Islam. Sehingga masyarakat Islam boleh melakukan transaksi
dengan perbankan yang menerapkan sistem bunga. Pendapat Syahrur ini ia bingkai
dalam teori batasnya yang ke enam yaitu posisi batas maksimal positif yang
tidak boleh dilampaui dan batas minimal negatif yang boleh dilampaui (Had
al-’la Mujaban Wa Had al-Adna Saliban).
4. Posisi batas maksimal positif dan tidak
boleh dilampaui (Had al-’la Mujaban Wa Had al-Adna Saliban) yang dimaksud
adalah bunga bank tidak boleh mencapai 100% dari modal. Jika bunga mencapai
100% maka hukum riba dapat berlaku. Sedangkan batas minimal yang boleh dilewati
(Had al-Adna) adalah masalah zakat. Artinya bahwa ketentuan zakat yang 2,5%
dari harta masih bisa dilewati, karena dalam Islam menganjurkan umatnya untuk
menyuburkan shadaqah. Harta yang boleh dishadaqahkan, dalam Islam tidak
nominalnya. Selain itu ia juga menjelaskan tentang bunga 0% yang dalam istilah
muamalah disebut dengan Qardul Hasan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Azhar,Basyir.1993. Asas-Asas Hukum Muamalat,Yogyakarta:
PerpustakaanFH-UII.
Asiah nur. http://m.kompasina.com/pos/read/556389/3/teori-batas-muhammad-syahrur.html. diakses pada tanggal 11 mei
2015 puul 10.00 WIB
Ahmad Zaki Mubarok.2007.
Pendekatan Strukturalisme linguistic dalam Tafsir Al Qur’an ala M. Syahrur,Elsaq
Press, Yogyakarta.
Syahrur, Muhammad.1990 Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah,
Damaskus: Al-Ahali li At-Tiba’ah Wa
al-Nashr Wa al-Tauzi’.
Umar
http://blogspot.com/2012/06/pemikiran-muhammad-syahrur-pemikiran-tentang.html Diakses pada
tanggal 15 mei 2015 pukul 10.00 WIB
.
‘
[1]
Mubarok, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme linguistic dalam Tafsir Al
Qur’an ala M. Syahrur, Elsaq Press, Yogyakarta, 2007, hal. 137-139.
[2] Muhammad Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah,
Damaskus: Al-Ahali li At-Tiba’ah Wa al-Nashr Wa al-Tauzi’, cet. II, 1990, Hlm.
823
[3] Nur asiah http://m.kompasina.com/pos/read/556389/3/teori-batas-muhammad-syahrur.html. diakses
pada tanggal 11 mei 2015 puul 10.00 WIB
[4]Umar http://blogspot.com/2012/06/pemikiran-muhammad-syahrur-pemikiran-tentang.html Diakses pada tanggal
15 mei 2015 pukul 10.00 WIB
Kunjungi Lapak Kami Dhamar Mart,,, Harga kesepakatan penjual dan pembeli.
Instagram @dhamar_mart
Instagram @dhamar_hijab
FB Dhamar Mart
Instagram @dhamar_mart
Instagram @dhamar_hijab
FB Dhamar Mart
Share it to your friends..!
0 comments "Pemikiran Muhammad Sahrur Tentang Ekonomi Islam", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment
Anda peminat madu asli?
Kunjungi target='blank'>Amiriyah madu