Saturday, April 22, 2017

Wakalah

Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang dibebani oleh berbagai kewajiban dan hak. Dalam penunaian kewajiban, seseorang ditutut untuk supaya menunaikan kewajibannya itu, serta hal itu termasuk kedalam tanggung jawabnya. Demikian pula halnya dalam penerimaan hak-hak. manusia berpribadi diminta pula secara langsung menerima hak yang dia miliki.  Hal semacam ini semakin terasa urgensinya, terutama dalam lapangan muamalat yang menuntut peran aktif setiap pemilik hak atau setiap pemikul tanggung jawab.[1]
Setiap manusia pasti dibebani oleh berbagai hak dan kewajiban. Seseorang memiliki tanggung jawab untuk menunaikan kewajibannya  itu secara langsung. Demikian pula dalam hal penerimaan hak-hak. Keperluan akan hal semacam ini semakin terasa manfaatnya, terutama dalam lapangan muamalat yang menuntut peran akan setiap pemilik hak atau setiap pemikul tanggung  jawab.
Tetapi setiap manusia juga mempunyai berbagai masalah dalam kehidupannya. Manusia akan selalu berhadapan dengan kenyataan, bahkan kadang kala mereka tidak dapat menunaikan kewajiban atau menerima haknya secara langsung yang disebabkan oleh halangan-halangan tertentu.
Terkadang, seseorang tidak mampu melakukan pekerjaan, mungkin karena tidak memiliki kompetensi, atau keterbatasan waktu dan tenaga untuk menyelesaikannya. Biasanya, ia akan memberikan mandat/mewakilkan kepada orang lain guna menyelesaikan pekerjaan yang dimaksud. Hal ini lazim disebut wakalah.[2]

A.    WAKALAH
1.      Pengertian
Al-wakalah atau al-Wikalah adalah perwakilan. Menurut bahasa artinya adalah al-hifzh (perlindungan), al-kifayah (pencukupan), al-dhaman (tanggungan) dan al-tafwidh (penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat).[3] Al-wakalah menurut istilah para ulama berbeda- beda antara lain:[4]
a.      Malikiyah
أَنْ  يَنِيْبَ (يُفِيْمُ) شَخْصٌ غَيْرَهُ فِى حَقِّ لَهُ  ييَتَصَرَّفُ فِيْهِ

“Seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu”.
b.      Hanafiyah
أَنْ يُفِيْمَ شَخْصٌ غَيْرَهُ مَقَامَ  نَفْسِهِ فِىى تَصَرُّفٍ
“Seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan)”.
c.       Ulama Syafi’iyyah
عِبَارَةُ عَنْ  أَنْ يُقَوِّضَ  شَخْصُ شَيْىْاً إِلَى غَيْرِهِ  لِييَفْعَلَهُ حَالَ حَيَاتِهِ
“Suatu ibarah seorang menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya”.
d.      Al-Hanabillah berpendapat bahwa al-wakalah ialah permintaan ganti seseorang yang membolehkan tasharruf yang seimbang pada pihak yang lain, yang di dalamnya terdapat penggantian dari hak-hak Allah dan hak-hak manusia.


Dari pendapat para ulama’ di atas dapat disimpulkan bahwa:
ألْوَكَالَةُ هِيَ تَفْوِيْضُ شَخْصٍ اَمْرَهُ اِلَى آخَرَ فِيْمَا يَقْبَلُ النِّيَابَةَ لِيَفْعَلَهُ فِى حَيَاتِهِ
Wakalah adalah akad pemberian kuasa dari seseorang (muwakkil) kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil) atas nama muwakkil (pemberi kuasa).[5]
2.      Dasar hukum al-wakalah adalah firman Allah SWT :[6]
فَبْعَثُوْااَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِيْنَةِ  (الكهف: ۱٩)
Maka suruhlah salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini (Al-Kahfi: 19)
فَابْعَثُوْاحَكَمًا مِنْ أهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
Maka kirimlah seorang utusan dari keluarga laki-laki dan hakam dari keluarga wanita (An-Nisa: 35)
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ جَابِرٍ رض قاَلَ   أَررَدْتُ الْحُرُوْجَ إٍلَى خَيْبَرَ فَاَتَيْتً النَّبِيِّ ص م فَقَا لَ اِذَا أَتَيْتَ وَكِيْلِى بِخَيْبَرَ فَخُذُ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسْقًا (رواه ابوداود)
Dari Jabir r.a. ia berkata: Aku keluar pergi ke Khaibar, lalu aku datang kepada Rasulullah SAW maka beliau bersabda, “Bila engkau datang pada wakilku di Khaibar, maka ambillah darinya 15 wasaq” (Riwayat Abu Dawud).
أَنَّ النّبِيَّ ص م وَكَّلَ أَبَارَافِعٍ وَرَخُلاً مِنَالْأَنْصَارِ مَيْمُوْنَةِ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا
“Sesungguhnya Nabi SAW mewkilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang lagi dari kaum Anshar, lalu kedua orang itu menikahkan Nabi dengan Maimunah r.a.”.


3.      Rukun dan Syarat al-Wakalah:[7]
Menurut Hanafiyah, rukun wakalah itu hanyalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut Jumhur Ulama, rukun wakalah ada empat, yaitu :
a.    Orang yang mewakilkan, syaratnya ialah dia pemilik barang atau dibawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut.
b.    Wakil (yang mewakili), syaratnya ialah orang yang berakal. Menurut pendapat Imam Syafi’i, anak-anak yang sudah memayyiz tidak berhak memberikan kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara mutlak. Namun madzab Hanafi membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak yang sudah mumayyiz pada bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat baginya.
c.    Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), syaratnya ialah:
1)      Menerima panggilan, maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk mengerjakannya, maka tidaklah sah mewakilkan untuk mengerjakan shalat, puasa, dan membaca al-Qur’an, karena hal ini tidak bisa diwakilkan.
2)      Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil itu, maka batal mewakilkan sesuatu yang akan dibeli.
3)      Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan dengan sesuatu yang masih samar.
d.   Shigat, yaitu lafaz mewakilkan, shigat diucapkan dari yang berwakil sebagai simbol keridhaannya untuk mewakilkan, dan wakil menerimanya.


4.      Macam-macam aqad wakalah
Dari segi sifatnya aqad wakalah dapat dibedakan menjadi:[8]
a.      Al wakalah al-khoshoh adalah aqad wakalah dimana prosesi pendelegasian wewenang untuk menggantikan sebuah posisi pekerjaan bersifat spesifik. Artinya perwakilan yang dibutuhkan dijelaskan dengan spesifikasi tertentu.
b.      Al wakalah al-‘ammah adalah aqad wakalah dimana prosesi pendelegasian wewenang bersifat umum, tanpa adanya spesifikasi.
Dari segi pelaksanaannya aqad wakalah dapat dibagi menjadi:
a.       al wakalah al muqayyadah adalah aqad wakalah dimana wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu.
b.      Al wakalah muthlaqah adalah aqad wakalah dimana wewenang dan tindakan wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu.
5.      Pekerjaan yang dapat diwakilkan
Mewakilkan untuk jual beli[9]
Pengertian mewakilkan secara mutlak bukan berarti seorang wakil (yang mewakili) dapat bertindak semena-mena, tetapi dia harus menjual sesuai dengan harga pada umumnya agar dapat dihindari ghubun (kecurangan).
Abu Hanifah berpendapat bahwa wakil tersebut boleh menjual sebagaimana kehendak wakil itu sendiri. Baik kemungkinan adanya kecurangan maupun tidak.
Jika perwakilan bersifat terikat, wkil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah ditentukan oleh orang yang mewakilkan. Ia tidak boleh menyalahinya. Bila yang mewakili menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang mewakilkan, maka tindakan tersebut bathil menurut pandangan Mazhab Syafi’i. Tetapi menurut Hanafi tindakan itu tergantung pada kerelaan orang yang mewakilkan. Jika yang mewakilkan membolehkannya, maka menjadi sah, tetapi bila tidak meridhainya, maka menjadi batal.
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa wakil mempunyai hak (boleh) membeli benda- benda yang diwakilkan kepadanya. Sementara itu, menurut Abu Hanifah, al-Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya yang paling jelas, wakil itu tidak boleh menjadi pembeli sebab menjadi tabi’at manusia, bahwa wakil tersebut ingin membeli sesuatu untuk kepentingannya dengan harga yang lebih murah, sedangkan tujuan orang yang memberikan kuasa (mewakilkan) bersungguh untuk mendapatkan tambahan.
Konsep Upah dalam Wakalah
Dalam wakalah, seorang wakil berhak menerima upah (fee) atas jasa perwakilan yang telah ditunaikan, dan hal ini diperbolehkan secara syara’. Fee atas akad wakalah, bersandar dari hadis Nabi yang menyatakan bahwa Rasulullah mengutus beberapa duta guna menarik harta zakat, dan mereka menerima fee atas usaha yang telah dilakukan.
6.      Berakhirnya Wakalah
Akad wakalah  akan berakhir dalam beberapa kondisi berikut ini :[10]
·         Mandat pekerjaan telah diselesaikan oleh pihak wakil
·         Muwakil dan wakil kehilangan ahliyyah (meninggal, gila permanen)
·         wakil mengundurkan diri dari pekerjaan yang dimandatkan kepadanya
·         Rusaknya objek yang diwakilkan untuk ditransaksikan
·         Pihak muwakil menarik mandate perwakilannya yang telah diberikan kepada pihak wakil
    A.            KAFALAH
1.      Pengertian kafalah
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan).  Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan al-kafalah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama:[11]
a.       Menurut Mazhab Hanafi al-kafalah memiliki dua pengertian, yang pertama:
ضَمَّ ذِمَّةٍ فِى اْلمُطَالَبَةِ بِنَفْسٍ أَوْ دَيْنٍ أَوْ عَيْنٍ
menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam penagihan, dengan jiwa, utang, atau zat benda”.
Pengertian yang kedua ialah:
ضَمَّ ذِمَّةٍ إِلَى ذِمَّةٍ فِىْ أَصْلِ الدِّيْنِ
      “Menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam pokok (asal) utang”.
b.      Menurut Mazhab Maliki
أَنْ يَشْغُلَ صَاحِبُ الْخَقِّ ذِمَّةَ الضَّامِنِ مَعَ ذِمِهِ الْمَضْمُوْنِ سَوَاءٌ كاَنَ شُغْلُ الذِّمَّةِ مُتَوَفِقًا عَلَى شَيْءٍ اَوْ لَمْ يَكُنْ  مُتَوَففِّقًا
Orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda”.



c.       Menurut Mazhab Hanafi
اِلْتِزَامُ وَجَبَ  عَلَى الْغَيْرِ مَعَ بَقَائِهِ عَلَى الْمَضُمُوْنِ أَوِالْتِزَامُ اِحْضَارِ مَنْ عَلَيْهِ حَقُّ مَالِيٌّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ
Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak”.
d.      Menurut Mazhab Syafi’i
عَقْدٌ يَقْتَضِى الْتِزَامَ حَقِّ ثَابِتٍ فِى ذِمَّةِ الْغَيْرِ اَوْ اِحْضَارُ عَيْنِ مَضْمُوْنَةٍاَوْ اِحْضَارُ بَدَنِ مَنْ يَسْتَحِقُّ حُضُوْرُهُ
“Akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tangguyngan (beban) yag lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya”.

Sehingga kiranya dapat dipahami bahwa definisi al-kafalah ialah:
أَلْكَفَالَةُ هِيَ يُقَالُ لاِلْتِزَامِ حَقٍّ ثَابِتٍ فِى ذِمَّةِالْغَيْرِ أَوْإِحْضَارِ عَيْنٍ مَضْمُوْنَةٍ أَوْ بَدَنِ مَنْ يَسْتَحِقُّ حُضُوْرُهُ
Kafalah (jasa jaminan) adalah kesanggupan untuk memenuhi hak yang telah menjadi kewajiban orang lain, kesanggupan untuk mendatangkan barang yang ditanggung atau untuk menghadirkan orang yang mempunyai kewajiban terhadap orang lain.[12]


2.      Dasar hukum al-kafalah adalah firman Allah SWT:[13]
قَالَ لَنْ أُرْسِلَهُ مَعَكُمْ حَتَّى تُؤْتُوْنِ مَوْثِقَا مِنَ اللّهِ لَتَأْتُنَّنِى بِهِ (يوسف: ٦٦)
Ya’kub berkata: “Aku tidak membiarkannya pergi bersamamu, sebelum kau memberikan janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti membawanya kembali kepadaku (Yusuf: 66).
وَلِمَنْ جَاءَبِهِ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَآنَا بِهِ زَعِيْمٌ (يوسف: ٧۲)
Dan barang siapa yang dapat mengembalikannya piala raja, maka ia akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta dan aku yang menjamin terhadapnya (Yusuf: 72).
اَلعَارِيَةُ مُؤَدَةٌ وَلَزَّعِيْمُ غَارِمٌ (رواه ابوداود)
“Pinjaman hendaklah dikembalikan dan menjamin hendaklah membayar” (Riwayat Abu Dawud).
لاَكَفَالَةَ فِىْ حَدٍ (رواه البيهقى)
“Tidak ada kafalah dalam had” (Riwayat Baihaqi).
3.      Rukun dan Syarat al-Kafalah:[14]
Menurut Mazhab Hanafi, rukun al-kafalah satu, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan menurut para ulama yang lainnya rukun dan syarat al-kafalah adalah sebagai berikut:
a.       Dhamin, kafil, atau za’im, yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya (mahjur) dan dilakukan dengan kehendak sendiri.
b.      Madmun lah atau mafkul lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin.
c.       Madmun ‘anhu atau makful bih adalah orang yang berutang.
d.      Madmun bih atau makful bih adalah utang, barang atau orang, disyaratkan pada mafkul bih dapat diketahui dan tetap keadaannya.
e.       Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu yang tidak berarti sementara.
4.      Macam- macam al-Kafalah
Secara umum, al-kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah dengan jiwa dan kafalah dengan harta.[15] Kafalah dengan jiwa atau kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya keharusan pada pihak penjamin untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makfullah).
Kafalah yang kedua ialah kafalah harta, yaitukewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta. Sedangkan kafalah harta ada tiga macam:
a.       Kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi beban orang lain.
Dalam kafalah utang disyaratkan sebagai berikut:
1)      Hendaklah nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi jaminan
2)      Hendaklah barang yang dijamin diketahui. Menurut Madzab Syafi’I dan Ibnu Hazm bahwa seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui, sebab perbuatan tersebut adalah gharar. Sementara Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang boleh menjamin sesuatu yang tidak diketahui
b.      Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti menyerahkan barang jualan kepada pembeli. Namun, bila bukan berbentuk jaminan, kafalah batal.
c.       Kafalah dengan ‘aib, maksudnya bahwa barang yang didapati berupa harta terjual dan mendapat bahaya (cacat) karena waktu yang terlalu lama atau karena hal lainnya, maka pembawa barang sebagai jaminan untuk hak pembeli pada penjual.
     B.            Hikmah al-Wakalah dan al-Kafalah
Disyariatkan sistem wakalah didalam islam mempunyai manfaat (hikmah) sebagai berikut:
a.       Dapat mensyariatkan sistem tolong menolong secara islami.
b.      Dapat memberikan pengertian betapa mudahnya ajaran islam.
c.       Dapat menghindari terbengkalainya suatu pekerjaan tertentu.
d.      Dapat melatih sikap disiplin dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan amanat orang lain.
Sedangkan hikmah daripada disyari’atkan sistem kafalah sebagai berikut : 
a.       Adanya unsur tolong-menolong antar sesama,
b.      Orang yg dijamin/ashiil terhindar dari perasaan malu dan tercela,
c.       Makful lahu akan terhindar dari unsur penipuan,
d.      Kafiil akan mendapatkan pahala dari Allah SWT karena telah menolong orang lain.


KESIMPULAN
A.    Wakalah
1.      Wakalah adalah akad pemberian kuasa dari seseorang (muwakkil) kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil) atas nama muwakkil (pemberi kuasa).
2.       Dasar hukum al-wakalah adalah firman Allah SWT  surat Al-Kahfi: 19, An-Nisa: 35, Rasulullah SAW bersabda: Dari Jabir r.a. ia berkata: Aku keluar pergi ke Khaibar, lalu aku datang kepada Rasulullah SAW maka beliau bersabda, “Bila engkau datang pada wakilku di Khaibar, maka ambillah darinya 15 wasaq” (Riwayat Abu Dawud).
3.       Rukun dan Syarat al-Wakalah: Orang yang mewakilkan, Wakil (yang mewakili), Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan),
4.      Macam-macam aqad wakalah
segi sifatnya: Al wakalah al-khoshoh, Al wakalah al-‘ammah, segi pelaksanaannya, Al wakalah al muqayyadah, Al wakalah muthlaqah
5.      Pekerjaan yang dapat diwakilkan yaitu mewakilkan untuk jual beli (mewakilkan bukan berarti seorang wakil yangdapat bertindak semena-mena, tetapi dia harus menjual sesuai dengan harga pada umumnya).
B.     Kafalah
1.      Kafalah (jasa jaminan) adalah kesanggupan untuk memenuhi hak yang telah menjadi kewajiban orang lain, kesanggupan untuk mendatangkan barang yang ditanggung atau untuk menghadirkan orang yang mempunyai kewajiban terhadap orang lain
2.      Dasar hukum al-kafalah adalah firman Allah SWT: Yusuf: 66, 72, dan “Pinjaman hendaklah dikembalikan dan menjamin hendaklah membayar” (Riwayat Abu Dawud).
3.      Rukun dan Syarat al-Kafalah: Mazhab Hanafi yaitu ijab dan qabul. Sedangkan menurut para ulama adalah
a.       Dhamin, kafil, atau za’im
b.      Madmun lah atau mafkul lah
c.       Madmun ‘anhu atau makful bih
d.      Madmun bih atau makful bih
e.       Lafadz,
4.      Macam- macam al-Kafalah
Secara umum dibagi menjadi kafalah dengan jiwa dan kafalah dengan harta.
C.     Hikmah al-Wakalah dan al-Kafalah
a.       Dapat mensyariatkan sistem tolong menolong secara islami.
b.      Dapat memberikan pengertian betapa mudahnya ajaran islam.
c.       Dapat menghindari terbengkalainya suatu pekerjaan tertentu.
d.      Dapat melatih sikap disiplin dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan amanat orang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Djuwaini, Dimyauddin. Pengantar Fiqih Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Dumairi Nor. dkk. Ekonomi Syariah Versi Salaf. Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008.
Hendi Suhendi. Figh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, tt.
Karim, Helmi. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.



[1] Helmi Karim, Fiqih Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),19
[2] Dimiyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),239
[3] Helmi Karim, Fiqih Muamalah.., 20
[4] Hendi Suhendi, Figh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, tt), 231-232.
[5] Dumairi Nor, dkk. Ekonomi Syariah Versi Salaf, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008), 133.
[6] Hendi Suhendi, Figh Muamalah 233-234.
[7] Ibid 234-235.
[8] Dimiyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 242-243.
[9] Hendi Suhendi, Figh Muamalah, 236-237.
[10] Dimiyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, 246
[11] Hendi Suhendi, Figh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, tt), 187-188.
[12] Dumairi Nor, dkk. Ekonomi Syariah Versi Salaf, 137.
[13] Ibid 190.
[14] Ibid 191.
[15] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, 191-194


oleh : mahasiwa STAIN PONOROGO 

Share it to your friends..!

Share to Facebook Share this post on twitter Bookmark Delicious Digg This Stumbleupon Reddit Yahoo Bookmark Furl-Diigo Google Bookmark Technorati Newsvine Tips Triks Blogger, Tutorial SEO, Info

0 comments "Wakalah", Baca atau Masukkan Komentar

Post a Comment

Anda peminat madu asli?
Kunjungi target='blank'>Amiriyah madu