Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang dibebani oleh berbagai
kewajiban dan hak. Dalam penunaian kewajiban, seseorang ditutut untuk supaya menunaikan
kewajibannya itu, serta hal itu termasuk kedalam tanggung jawabnya. Demikian
pula halnya dalam penerimaan hak-hak. manusia berpribadi diminta pula secara
langsung menerima hak yang dia miliki.
Hal semacam ini semakin terasa urgensinya, terutama dalam lapangan
muamalat yang menuntut peran aktif setiap pemilik hak atau setiap pemikul
tanggung jawab.[1]
Setiap manusia pasti dibebani oleh
berbagai hak dan kewajiban. Seseorang memiliki tanggung jawab untuk menunaikan
kewajibannya itu secara langsung. Demikian pula dalam hal penerimaan
hak-hak. Keperluan akan hal semacam ini semakin
terasa manfaatnya, terutama dalam lapangan muamalat yang menuntut peran akan
setiap pemilik hak atau setiap pemikul tanggung jawab.
Tetapi setiap manusia juga mempunyai
berbagai masalah dalam kehidupannya. Manusia akan selalu berhadapan dengan
kenyataan, bahkan kadang kala mereka tidak dapat menunaikan kewajiban atau
menerima haknya secara langsung yang disebabkan oleh halangan-halangan
tertentu.
Terkadang, seseorang
tidak mampu melakukan pekerjaan, mungkin karena tidak memiliki kompetensi, atau
keterbatasan waktu dan tenaga untuk menyelesaikannya. Biasanya, ia akan
memberikan mandat/mewakilkan kepada orang lain guna menyelesaikan pekerjaan
yang dimaksud. Hal ini lazim disebut wakalah.[2]
A. WAKALAH
1.
Pengertian
Al-wakalah atau al-Wikalah adalah perwakilan. Menurut bahasa artinya
adalah al-hifzh (perlindungan), al-kifayah (pencukupan), al-dhaman (tanggungan)
dan al-tafwidh (penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat).[3] Al-wakalah
menurut istilah para ulama berbeda- beda antara lain:[4]
a.
Malikiyah
أَنْ يَنِيْبَ (يُفِيْمُ) شَخْصٌ غَيْرَهُ فِى حَقِّ
لَهُ ييَتَصَرَّفُ فِيْهِ
“Seseorang menggantikan (menempati) tempat
yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu”.
b.
Hanafiyah
أَنْ يُفِيْمَ شَخْصٌ غَيْرَهُ مَقَامَ نَفْسِهِ فِىى تَصَرُّفٍ
“Seseorang menempati diri orang lain dalam
tasharruf (pengelolaan)”.
c.
Ulama Syafi’iyyah
عِبَارَةُ عَنْ
أَنْ يُقَوِّضَ شَخْصُ شَيْىْاً
إِلَى غَيْرِهِ لِييَفْعَلَهُ حَالَ
حَيَاتِهِ
“Suatu ibarah seorang menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk
dikerjakan ketika hidupnya”.
d.
Al-Hanabillah
berpendapat bahwa al-wakalah ialah permintaan ganti seseorang yang
membolehkan tasharruf yang seimbang pada pihak yang lain, yang di
dalamnya terdapat penggantian dari hak-hak Allah dan hak-hak manusia.
Dari
pendapat para ulama’ di atas dapat disimpulkan bahwa:
ألْوَكَالَةُ
هِيَ تَفْوِيْضُ شَخْصٍ اَمْرَهُ اِلَى آخَرَ فِيْمَا يَقْبَلُ النِّيَابَةَ
لِيَفْعَلَهُ فِى حَيَاتِهِ
Wakalah adalah akad pemberian kuasa dari seseorang (muwakkil)
kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil)
atas nama muwakkil (pemberi kuasa).[5]
2.
Dasar hukum al-wakalah adalah firman Allah SWT :[6]
فَبْعَثُوْااَحَدَكُمْ
بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِيْنَةِ
(الكهف: ۱٩)
Maka suruhlah salah seorang diantara kamu pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini (Al-Kahfi: 19)
فَابْعَثُوْاحَكَمًا
مِنْ أهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
Maka kirimlah seorang utusan dari keluarga
laki-laki dan hakam dari keluarga wanita (An-Nisa: 35)
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ جَابِرٍ رض
قاَلَ أَررَدْتُ الْحُرُوْجَ إٍلَى
خَيْبَرَ فَاَتَيْتً النَّبِيِّ ص م فَقَا لَ اِذَا أَتَيْتَ وَكِيْلِى بِخَيْبَرَ
فَخُذُ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسْقًا (رواه ابوداود)
Dari Jabir r.a. ia berkata: Aku keluar pergi
ke Khaibar, lalu aku datang kepada Rasulullah SAW maka beliau bersabda, “Bila
engkau datang pada wakilku di Khaibar, maka ambillah darinya 15 wasaq” (Riwayat
Abu Dawud).
أَنَّ
النّبِيَّ ص م وَكَّلَ أَبَارَافِعٍ وَرَخُلاً مِنَالْأَنْصَارِ مَيْمُوْنَةِ
رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا
“Sesungguhnya
Nabi SAW mewkilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang lagi dari kaum Anshar, lalu
kedua orang itu menikahkan Nabi dengan Maimunah r.a.”.
3. Rukun dan Syarat al-Wakalah:[7]
Menurut
Hanafiyah, rukun wakalah itu hanyalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut
Jumhur Ulama, rukun wakalah ada empat, yaitu :
a. Orang yang mewakilkan, syaratnya ialah dia pemilik
barang atau dibawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut.
b. Wakil (yang mewakili), syaratnya ialah orang yang
berakal. Menurut
pendapat Imam Syafi’i, anak-anak yang sudah memayyiz tidak berhak memberikan
kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara mutlak. Namun madzab
Hanafi membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak yang sudah mumayyiz pada
bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat baginya.
c. Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), syaratnya ialah:
1) Menerima panggilan, maksudnya boleh diwakilkan
pada orang lain untuk mengerjakannya, maka tidaklah sah mewakilkan untuk
mengerjakan shalat, puasa, dan membaca al-Qur’an, karena hal ini tidak bisa
diwakilkan.
2) Dimiliki oleh yang
berwakil ketika ia berwakil itu, maka batal mewakilkan sesuatu yang akan
dibeli.
3) Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan
dengan sesuatu yang masih samar.
d. Shigat, yaitu lafaz mewakilkan, shigat diucapkan
dari yang berwakil sebagai simbol keridhaannya untuk mewakilkan, dan wakil
menerimanya.
4. Macam-macam aqad
wakalah
Dari
segi sifatnya aqad wakalah dapat dibedakan menjadi:[8]
a. Al wakalah
al-khoshoh adalah aqad
wakalah dimana prosesi pendelegasian wewenang untuk menggantikan sebuah posisi
pekerjaan bersifat spesifik. Artinya perwakilan yang dibutuhkan dijelaskan
dengan spesifikasi tertentu.
b. Al wakalah
al-‘ammah adalah aqad
wakalah dimana prosesi pendelegasian wewenang bersifat umum, tanpa adanya
spesifikasi.
Dari segi pelaksanaannya aqad wakalah dapat dibagi menjadi:
a.
al wakalah al muqayyadah adalah aqad wakalah
dimana wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu.
b.
Al wakalah muthlaqah adalah aqad wakalah dimana wewenang dan tindakan wakil tidak
dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu.
5. Pekerjaan yang
dapat diwakilkan
Mewakilkan
untuk jual beli[9]
Pengertian mewakilkan
secara mutlak bukan berarti seorang wakil (yang mewakili) dapat bertindak
semena-mena, tetapi dia harus menjual sesuai dengan harga pada umumnya agar
dapat dihindari ghubun (kecurangan).
Abu Hanifah berpendapat bahwa wakil tersebut boleh menjual
sebagaimana kehendak wakil itu sendiri. Baik kemungkinan adanya kecurangan
maupun tidak.
Jika perwakilan bersifat terikat, wkil berkewajiban mengikuti apa
saja yang telah ditentukan oleh orang yang mewakilkan. Ia tidak boleh
menyalahinya. Bila yang mewakili menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati
ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang mewakilkan, maka
tindakan tersebut bathil menurut pandangan Mazhab Syafi’i. Tetapi menurut
Hanafi tindakan itu tergantung pada kerelaan orang yang mewakilkan. Jika yang
mewakilkan membolehkannya, maka menjadi sah, tetapi bila tidak meridhainya,
maka menjadi batal.
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa wakil mempunyai hak (boleh)
membeli benda- benda yang diwakilkan kepadanya. Sementara itu, menurut Abu
Hanifah, al-Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya yang paling jelas,
wakil itu tidak boleh menjadi pembeli sebab menjadi tabi’at manusia, bahwa
wakil tersebut ingin membeli sesuatu untuk kepentingannya dengan harga yang
lebih murah, sedangkan tujuan orang yang memberikan kuasa (mewakilkan)
bersungguh untuk mendapatkan tambahan.
Konsep
Upah dalam Wakalah
Dalam wakalah, seorang wakil berhak menerima upah (fee)
atas jasa perwakilan yang telah ditunaikan, dan hal ini diperbolehkan secara syara’.
Fee atas akad wakalah, bersandar dari hadis Nabi yang menyatakan
bahwa Rasulullah mengutus beberapa duta guna menarik harta zakat, dan mereka
menerima fee atas usaha yang telah dilakukan.
6.
Berakhirnya Wakalah
Akad
wakalah akan berakhir dalam
beberapa kondisi berikut ini :[10]
·
Mandat pekerjaan telah diselesaikan oleh pihak wakil
·
Muwakil dan
wakil kehilangan ahliyyah (meninggal, gila permanen)
·
wakil mengundurkan diri dari pekerjaan yang dimandatkan kepadanya
·
Rusaknya objek yang diwakilkan untuk ditransaksikan
·
Pihak muwakil menarik mandate perwakilannya yang telah
diberikan kepada pihak wakil
A.
KAFALAH
1. Pengertian kafalah
Al-kafalah
menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah
(tanggungan). Sedangkan menurut istilah
yang dimaksud dengan al-kafalah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama:[11]
a. Menurut Mazhab
Hanafi al-kafalah memiliki dua pengertian, yang pertama:
ضَمَّ
ذِمَّةٍ فِى اْلمُطَالَبَةِ بِنَفْسٍ أَوْ دَيْنٍ أَوْ عَيْنٍ
“menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam penagihan, dengan jiwa, utang, atau
zat benda”.
Pengertian yang kedua ialah:
ضَمَّ
ذِمَّةٍ إِلَى ذِمَّةٍ فِىْ أَصْلِ الدِّيْنِ
“Menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam pokok (asal) utang”.
b. Menurut Mazhab Maliki
أَنْ
يَشْغُلَ صَاحِبُ الْخَقِّ ذِمَّةَ الضَّامِنِ مَعَ ذِمِهِ الْمَضْمُوْنِ سَوَاءٌ
كاَنَ شُغْلُ الذِّمَّةِ مُتَوَفِقًا عَلَى شَيْءٍ اَوْ لَمْ يَكُنْ مُتَوَففِّقًا
“Orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta
bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama)
maupun pekerjaan yang berbeda”.
c. Menurut Mazhab Hanafi
اِلْتِزَامُ
وَجَبَ عَلَى الْغَيْرِ مَعَ بَقَائِهِ
عَلَى الْمَضُمُوْنِ أَوِالْتِزَامُ اِحْضَارِ مَنْ عَلَيْهِ حَقُّ مَالِيٌّ لِصَاحِبِ
الْحَقِّ
“Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain
serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang
mempunyai hak menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai
hak”.
d. Menurut Mazhab Syafi’i
عَقْدٌ
يَقْتَضِى الْتِزَامَ حَقِّ ثَابِتٍ فِى ذِمَّةِ الْغَيْرِ اَوْ اِحْضَارُ عَيْنِ
مَضْمُوْنَةٍاَوْ اِحْضَارُ بَدَنِ مَنْ يَسْتَحِقُّ حُضُوْرُهُ
“Akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada
tangguyngan (beban) yag lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau
menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya”.
Sehingga kiranya dapat dipahami bahwa definisi al-kafalah ialah:
أَلْكَفَالَةُ هِيَ يُقَالُ لاِلْتِزَامِ حَقٍّ ثَابِتٍ فِى
ذِمَّةِالْغَيْرِ أَوْإِحْضَارِ عَيْنٍ مَضْمُوْنَةٍ أَوْ بَدَنِ مَنْ يَسْتَحِقُّ
حُضُوْرُهُ
Kafalah (jasa jaminan) adalah kesanggupan untuk memenuhi hak yang
telah menjadi kewajiban orang lain, kesanggupan untuk mendatangkan barang yang
ditanggung atau untuk menghadirkan orang yang mempunyai kewajiban terhadap orang
lain.[12]
قَالَ
لَنْ أُرْسِلَهُ مَعَكُمْ حَتَّى تُؤْتُوْنِ مَوْثِقَا مِنَ اللّهِ لَتَأْتُنَّنِى
بِهِ (يوسف: ٦٦)
Ya’kub berkata: “Aku tidak membiarkannya pergi bersamamu, sebelum kau
memberikan janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti membawanya
kembali kepadaku (Yusuf: 66).
وَلِمَنْ
جَاءَبِهِ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَآنَا بِهِ زَعِيْمٌ (يوسف: ٧۲)
Dan barang siapa yang dapat mengembalikannya piala raja,
maka ia akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta dan aku yang menjamin
terhadapnya (Yusuf: 72).
اَلعَارِيَةُ
مُؤَدَةٌ وَلَزَّعِيْمُ غَارِمٌ (رواه ابوداود)
“Pinjaman
hendaklah dikembalikan dan menjamin hendaklah membayar” (Riwayat Abu Dawud).
لاَكَفَالَةَ
فِىْ حَدٍ (رواه البيهقى)
“Tidak
ada kafalah dalam had” (Riwayat Baihaqi).
3. Rukun dan Syarat al-Kafalah:[14]
Menurut Mazhab Hanafi, rukun al-kafalah
satu, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan menurut para ulama yang lainnya rukun dan
syarat al-kafalah adalah sebagai berikut:
a. Dhamin, kafil, atau za’im, yaitu orang yang menjamin
dimana ia disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan
hartanya (mahjur) dan dilakukan dengan kehendak sendiri.
b. Madmun lah atau mafkul lah, yaitu orang yang
berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang berpiutang diketahui oleh orang yang
menjamin.
c. Madmun ‘anhu atau makful bih adalah orang yang
berutang.
d. Madmun bih atau makful bih adalah utang, barang
atau orang, disyaratkan pada mafkul bih dapat diketahui dan tetap keadaannya.
e. Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti
menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu yang tidak berarti sementara.
4.
Macam- macam al-Kafalah
Secara umum, al-kafalah dibagi menjadi
dua bagian, yaitu kafalah dengan jiwa dan kafalah dengan harta.[15] Kafalah
dengan jiwa atau kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya keharusan pada pihak
penjamin untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan
tanggungan (Makfullah).
Kafalah yang kedua ialah kafalah harta, yaitukewajiban
yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan)
berupa harta. Sedangkan kafalah harta ada tiga macam:
a. Kafalah bi
al-dayn, yaitu
kewajiban membayar utang yang menjadi beban orang lain.
Dalam kafalah utang disyaratkan sebagai berikut:
1)
Hendaklah nilai barang tersebut tetap pada waktu
terjadinya transaksi jaminan
2) Hendaklah barang yang dijamin diketahui. Menurut Madzab Syafi’I dan Ibnu Hazm bahwa seseorang tidak sah
menjamin barang yang tidak diketahui, sebab perbuatan tersebut adalah gharar.
Sementara Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang boleh
menjamin sesuatu yang tidak diketahui
b. Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban
menyerahkan benda-benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti
menyerahkan barang jualan kepada pembeli. Namun, bila bukan berbentuk jaminan,
kafalah batal.
c. Kafalah dengan ‘aib, maksudnya bahwa barang
yang didapati berupa harta terjual dan mendapat bahaya (cacat) karena waktu
yang terlalu lama atau karena hal lainnya, maka pembawa barang sebagai jaminan
untuk hak pembeli pada penjual.
B.
Hikmah al-Wakalah dan al-Kafalah
Disyariatkan sistem wakalah didalam
islam mempunyai manfaat (hikmah) sebagai berikut:
a.
Dapat
mensyariatkan sistem tolong menolong secara islami.
b.
Dapat
memberikan pengertian betapa mudahnya ajaran islam.
c.
Dapat
menghindari terbengkalainya suatu pekerjaan tertentu.
d.
Dapat
melatih sikap disiplin dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan
amanat orang lain.
Sedangkan
hikmah daripada disyari’atkan sistem kafalah sebagai berikut :
a.
Adanya unsur tolong-menolong antar sesama,
b.
Orang yg dijamin/ashiil terhindar dari perasaan malu dan
tercela,
c.
Makful lahu akan terhindar dari unsur penipuan,
d.
Kafiil akan mendapatkan pahala dari Allah SWT karena telah
menolong orang lain.
KESIMPULAN
A.
Wakalah
1.
Wakalah adalah akad pemberian kuasa dari seseorang (muwakkil)
kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil)
atas nama muwakkil (pemberi kuasa).
2.
Dasar hukum al-wakalah adalah firman Allah SWT surat Al-Kahfi: 19, An-Nisa: 35, Rasulullah SAW
bersabda: Dari Jabir r.a. ia berkata: Aku keluar pergi
ke Khaibar, lalu aku datang kepada Rasulullah SAW maka beliau bersabda, “Bila
engkau datang pada wakilku di Khaibar, maka ambillah darinya 15 wasaq” (Riwayat
Abu Dawud).
3.
Rukun dan Syarat al-Wakalah: Orang yang mewakilkan, Wakil (yang
mewakili), Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan),
4. Macam-macam
aqad wakalah
segi sifatnya: Al wakalah al-khoshoh, Al wakalah al-‘ammah, segi
pelaksanaannya, Al wakalah al muqayyadah, Al wakalah muthlaqah
5. Pekerjaan yang
dapat diwakilkan yaitu mewakilkan untuk jual beli (mewakilkan bukan berarti seorang wakil yangdapat
bertindak semena-mena, tetapi dia harus menjual sesuai dengan harga pada
umumnya).
B.
Kafalah
1.
Kafalah (jasa jaminan) adalah kesanggupan untuk memenuhi hak yang
telah menjadi kewajiban orang lain, kesanggupan untuk mendatangkan barang yang
ditanggung atau untuk menghadirkan orang yang mempunyai kewajiban terhadap
orang lain
2.
Dasar
hukum al-kafalah adalah firman Allah SWT: Yusuf: 66, 72,
dan “Pinjaman hendaklah dikembalikan dan menjamin
hendaklah membayar” (Riwayat Abu Dawud).
3.
Rukun dan Syarat al-Kafalah: Mazhab Hanafi yaitu ijab dan qabul. Sedangkan menurut para
ulama adalah
a.
Dhamin, kafil, atau za’im
b.
Madmun lah atau mafkul lah
c.
Madmun ‘anhu atau makful bih
d.
Madmun bih atau makful bih
e.
Lafadz,
4.
Macam- macam al-Kafalah
Secara umum dibagi menjadi kafalah dengan jiwa dan kafalah
dengan harta.
C. Hikmah al-Wakalah dan al-Kafalah
a.
Dapat
mensyariatkan sistem tolong menolong secara islami.
b.
Dapat
memberikan pengertian betapa mudahnya ajaran islam.
c.
Dapat
menghindari terbengkalainya suatu pekerjaan tertentu.
d. Dapat melatih sikap disiplin dan
bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan amanat orang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Djuwaini,
Dimyauddin. Pengantar Fiqih Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Dumairi
Nor. dkk. Ekonomi Syariah Versi Salaf. Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008.
Hendi
Suhendi. Figh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, tt.
Karim,
Helmi. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
[1] Helmi Karim, Fiqih Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1997),19
[2] Dimiyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008),239
[3] Helmi Karim, Fiqih Muamalah.., 20
[4] Hendi Suhendi, Figh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, tt), 231-232.
[5] Dumairi Nor, dkk. Ekonomi Syariah Versi Salaf, (Pasuruan:
Pustaka Sidogiri, 2008), 133.
[6] Hendi Suhendi, Figh Muamalah 233-234.
[7] Ibid 234-235.
[8] Dimiyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), 242-243.
[9] Hendi Suhendi, Figh Muamalah, 236-237.
[10] Dimiyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, 246
[11] Hendi Suhendi, Figh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, tt), 187-188.
[12] Dumairi Nor, dkk. Ekonomi Syariah Versi Salaf, 137.
[13] Ibid 190.
[14] Ibid 191.
Kunjungi Lapak Kami Dhamar Mart,,, Harga kesepakatan penjual dan pembeli.
Instagram @dhamar_mart
Instagram @dhamar_hijab
FB Dhamar Mart
Instagram @dhamar_mart
Instagram @dhamar_hijab
FB Dhamar Mart
Share it to your friends..!
0 comments "Wakalah", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment
Anda peminat madu asli?
Kunjungi target='blank'>Amiriyah madu