Pendahuluan
Sebagaimana
telah dibahas pada bab sebelumnya, inti dari pandangan filsafat perennial
adalah bahwa setiap agama dan tradisi-tradisi esoterik ada suatu pengetahuan
dan pesan keagamaan yang sama, yang muncul melalui beragam nama dan dibungkus
dalam berbagai bentuk dan simbol. Nama dan bungkus tersebut, tetap bukanlah
merupakan tujuan, melainkan lebih merupakan suatu jalan agar manusia bisa
terbebas dari belenggu-belenggu dunia material yang cenderung menyengsarakan[1].
Paul
F. Knitter dalam bukunya "No Other Name? A Critical Survey of Christian
Attitudes, Toward the World Religion" mengatakan "Anda tidak
dapat mengatakan bahwa agama yang satu lebih baik dari yang lain", semua
agama pada dasarnya relatif, yaitu terbatas, parsial, tidak lengkap, sebagai
jalan dalam melihat sesuatu[2].
Dalam konteks agama-agama, Huston
Smith menerima adanya the common vision, yang berarti menghubungkan
kembali the many, dalam hal ini adalah realitas eksoteris agama-agama,
kepada asalnya The One yaitu Tuhan. Sehingga kesan empiris tentang
adanya agama-agama yang majemuk itu, tidak hanya berhenti sebagai fenomena
faktual saja, tetapi kemudian dilanjutkan bahwa ada satu realitas yang menjadi
pengikat yang sama dari agama-agama tersebut. Kalangan perennial biasa menyebut
The Common vision of the world religions dari Huston Smith dengan
istilah "kesatuan trasenden agama-agama" (Transcendent Unity of
Religions)[3].
Bentuk
dan Substansi Agama-Agama Perspektif Perennial
Pendekatan perennial terhadap agama, apapun nama
agama itu selalu menghubungkan dengan substansinya, yaitu inti ajaran agama
yang keberadaannya di balik bentuk formalnya. Substansi ini bersifat transenden
tetapi sekaligus imanen. Ia trasenden karena substansi agama sulit
didefinisikan dan tidak terjangkau kecuali melalui predikatnya. Namun begitu
agama juga imanen karena sesungguhnya hubungan antara predikat dan substansi
tidak mungkin terpisahkan. Kalau saja substansi agama bisa dibuat hirarki, maka
substansi agama yang paling primordial hanyalah satu. Ia bersifat perennial,
tidak terbatas karena ia merupakan pancaran dari yang mutlak[4].
Schoun mengatakan bahwa "Setiap agama
memiliki satu bentuk dan satu substansi"[5]. Bentuk
agama adalah relatif, namun didalamnya terdapat muatan substansial yang mutlak.
Karena agama merupakan gabungan antara substansi dan bentuk, maka agama
kemudian menjadi sesuatu yang absolut tapi relatif (Relatively-Absolute)[6].
Schoun mengatakan "Secara esoteris, atau
dalam pengertian substansi, klaim ataupun pernyataan-pernyataan yang dibuat
oleh suatu agama bersifat mutlak. Tetapi, secara eksoterik, atau dalam
pengertian bentuk, atau pada tingkat keberagamaan manusiawi,
pernyataan-pernyataan tersebut mau tidak mau menjadi relatif"[7]. Dengan
demikian, keberagamaan yang hanya mengandalkan bentuk tidak menjadi
satu-satunya sarana penyelamat. Ia masih diterima kebenarannya sebatas
merupakan derivasi spiritual dari substansi yang absolut. Setiap bentuk adalah
terbatas, dan setiap agama pada dimensi eksoteriknya adalah suatu bentuk,
sedangkan sifat kemutlakan yang dimilikinya hanya dalam esensi hakiki dan
supraformalnya saja. Contoh yang amat nyata: apabila orang ibadah haji hanya
untuk menyembah bangunan ka'bah, maka ia telah terjatuh dalam kemusyrikan[8].
Meminjam ungkapan Abu Ja'far al-Shadiq, kata Allah
sendiri artinya Yang Dipuja. Maka barangsiapa memuja Allah (tanpa mengacu pada
substansi-Nya), maka ia telah kafir. Dan barangsiapa memuja Allah (nama dan
substansi-Nya sekaligus), maka ia telah musyrik. Tetapi barangsiapa yang memuja
Dzat yang diacu oleh kata Allah itu, barulah benar tauhidnya[9].
Fenomena agama yang muncul ke permukaan, biasanya
melupakan makna hakikinya. Memang betul bahwa bentuk (eksoterisme) memberikan identitas
secara spesifik terhadap sebuah agama,. Lebih dari itu, ketika substansi telah
terlembagakan ia menuntut penolakan secara tegas dan keras terhadap bentuk yang
lain. Lain halnya dengan perennial, mereka menganggap bahwa dibalik
bentuk-bentuk (keagamaan) lahiriah yang berbeda itu, sebenarnya terdapat
kesamaan substansial sehingga agama yang satu memperkuat yang lain, bukannya
malah ingin menghapuskan. Misalnya, Sayyid Ali Hamadani, seorang yang telah
mengubah Kashmir menjadi Islam, ketika mengenal Lalla Yogiswa, seorang yogi
wanita cantik dari kalangan Hindu. Walaupun mereka berbeda keyakinan, akan
tetapi kedua orang suci itu saling menghormati satu sama lain[10].
Pengakuan akan adanya kebenaran pada bentuk agama
yang kita anut memang harus dipertahankan. Akan tetapi, pengakuan semacam ini
juga harus memberi tempat bagi bentuk agama lain juga sebagai kebenaran yang
diakui secara mutlak oleh para pemeluknya[11].
Memang benar, bahwa setiap wahyu dari agama yang
lahir kemudian selalu menolak agama sebelumnya. Namun, seperti yang ditegaskan
Schoun[12],
pandangan semacam ini hanya benar secara simbolis. Artinya, bahwa wahyu yang
ditolak itu hanya sebatas bentuk-bentuk agamanya, bukan substansinya. Misalnya,
penolakan kaum Muslim terhadap ajaran Nasrani, sejauh pada tingkat bentuk bisa
dibenarkan, karena dilihat dari kaca mata seorang Muslim itu merupakan
penyelewengan. Misal yang lain, pertentangan antara Gereja Latin dan Gereja
Yunani, pertentangan ini sama sekali tidak mempengaruhi hakikat intrinsik kedua
Gereja tersebut[13].
Artinya, perpecahan itu hanya terjadi pada tingkat bentuk, sedangkan pada alam
dalamnya tetap utuh[14].
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa agama
Yahudi dan Kristen menampakkan dua wajah yang saling bertentangan. Pada Yahudi,
pesan agama menjadi sangat khusus hanya untuk bangsa Israel, dan juga Tuhan
yang mereka persepsikan adalah Tuhan yang Maha Otoriter, sementara mereka
bagaikan budak yang menunggu perintah. Pada Kristen, karena dianggap pembenaran
dan peneguhan terhadap doktrin mesianisme Yahudi, maka Kristus hadir sebagai
sabda Ilahi yang Maha Kuasa, yang karena formalismenya, menjadi sangat sempit.
Maksudnya, kehadiran Kristus secara historis dimaksudkan sebagai kritik dan
sekaligus peneguhan terhadap paham mesianisme Yahudi[15].
Kemudian, dua wajah monoteisme Yahudi dan Kristen
itu dirangkum oleh Islam dengan menyelaraskan pertentangan tersebut dalam satu
sintesis. Disinilah Islam datang sebagai peneguh, pengkritik dan sekaligus
penyempurna terhadap dua agama sebelumnya. Karena dengan lahirnya agama Islam
siklus perkembangan agama monoteime berakhir, sebab Islam menghadirkan kembali
keseimbangan yang pertama kali terdapat pada monoteisme Ibrahim. Keseimbangan
yang maksud adalah keseimbangan esoteris dan eksoteris[16].
Namun demikian, dua monoteisme sebelum Islam
tersebut secara substansial tetap saja tidak bisa dibatalkan. Sebab, dua corak
keberagamaan dari dua monoteime Musa dan Kristus itu merupakan concern bagi
umat manusia, dengan suatu keputusan memilih salah satunya atau kedua-duanya[17].
Jadi, semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini
adalah sama validnya, karena pada hakikatnya semuanya itu tidak lain hanyalah
merupakan bentuk-bentuk respon yang berbeda yang dilakukan manusia yang hidup
dalam tradisi keagamaan tertentu terhadap sebuah reality trasenden yang satu
dan sama[18],
dan dengan demikian, semuanya merupakan "Authentic Manifestations of
the Real",[19]
Ringkasnya, semua agama secara relatif adalah sama, dan tak ada satu pun agama
yang berhak mengklaim diri "the uniqueness of truth and salvation"
sebagai satu-satunya kebenaran atau satu-satunya jalan menuju keselamatan[20].
Wilayah
Esoterik dan Eksoterik pada Agama-Agama Perspektif
al-Attas
Menurut perspektif perennial
dimensi esoteris dianggap lebih tinggi dibanding dimensi eksoteris. Istilah esoteris
dimaknai sebagai pemahaman Tuhan pada tingkat Esensi. Maksudnya, Tuhan
dipersepsikan sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak
Terbatas dan Maha Sempurna.
Menurut Syed Naquib
al-Attas, konsep Tuhan pada level esoteris seperti anggapan kalangan perennial,
adalah konsep yang keliru. Pengakuan akan adanya Tuhan saja tidak cukup.
Sebabnya, Iblis juga mengakui Tuhan sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang
Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Jadi, memahami Tuhan hanya sebagai
Esensi (Tuhan sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak
Terbatas dan Maha Sempurna), masih bisa sesat.
Konsep Tuhan dalam Islam
bukan hanya mengakui-Nya sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang
Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Namun, menurut Islam, pengakuan terhadap-Nya harus juga diikuti
sekaligus dengan pengakuan untuk tidak menyekutukan-Nya dan tunduk kepada-Nya
dengan cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui oleh-Nya seperti yang
ditunjukkan oleh para rasul yang telah di utus-Nya.
Iblis juga mempercayai Tuhan
yang satu, mengakui-Nya sebagai pencipta alam semesta, dalam al-Quran, ia masih
di sebut kafir. Itu disebabkan pengingkaran kepada perintah Allah. Jadi,
memahami dan mengakui Tuhan, harus
dengan mengikuti perintah, bentuk cara, jalan-Nya. Jadi, kalangan perennial
keliru ketika menganggap dimensi eksoteris “lebih rendah” dari esoteris.
Sebabnya, dimensi eksoteris justru merupakan penentu terhadap kebenaran
esoterik[21].
Kesimpulan
Sebagaimana telah dipaparkan diatas, kalangan
perennialis menganggap bahwa semua agama bersifat mutlak pada level esoterik,
semua agama mempunyai substansi yang sama dan akan menuju kepada Yang Satu pada
level esoterik. Dan pertentangan pada agama-agama hanya terjadi pada wilayah
eksoterik atau pada tataran bentuk saja.
Akan tetapi, pada hakikatnya tidak bisa dipungkiri
bahwa pengakuan
terhadap Allah tidak bisa dicapai hanya dengan pengakuan akan adanya Tuhan,
akan tetapi, harus juga diikuti sekaligus dengan pengakuan untuk tidak menyekutukan-Nya
dan tunduk kepada-Nya dengan cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui
oleh-Nya seperti yang ditunjukkan oleh para rasul yang telah di utus-Nya.
Referensi
Hick,
John, An Interpretation of Religion; Human Responses to the Transcendent, (London;
Macmillan, 1989)
________,
The Fifth Dimension, (Oxford; Oneworld, 1999)
Hidayat,
Komaruddin, dan Muhamad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Filsafat
Perennial, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2003)
Schuon
, Frithjof, Islam and the Perennial Philosophy, translated by J. Peter
Hobson, World of Islam Festival Publishing Company Ltd., 1976
____________,
The Transcendent Unity of Religion, Wheaton Illinois, the Philosophical
Publishing House, 1984
Makalah
Anis Malik Thoha, Mencermati Doktrin Pluralisme Agama, disampaikan pada
seminar nasional dengan tema "Problem Epistemologi Pluralisme Agama"
di Graha Watoe Dhakon STAIN Ponorogo, 4 Juli 2011,
Republika
Online atau Koran Republika, Kamis 21/4/2011 kolom Jurnal Islamia, Kupas Tuntas
Bahaya dan kekeliruan Paham Pluralisme.
[1] Komaruddin Hidayat dan Muhamad
Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta;
Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal: 41
[2] Lebih lengkapnya lihat Paul F. Knitter, No
Other Name; A Critical Survey of Christian Attitudes, Toward the World
Religion, (New York; Orbis Book, 1985), Hal: 23
[3] Komaruddin
Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, op.cit., Hal: 8-9
[4] Ibid, Hal: 109-110
[5] Frithjof Schuon, Islam
and the Perennial Philosophy, translated by J. Peter Hobson, World of Islam
Festival Publishing Company Ltd., 1976, Hal: 15
[6] Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis,
op.cit., Hal: 110
[7] Frithjof Schuon, op.cit., Hal: 16
[8] Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis,
op.cit., Hal: 112-113
[9] Abu Ja'far Muhammad, Al-Tawhid, Muassasah
al-Nasyr al-Islami, Qum, Iran, 1389, Hal: 220
[10] Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi
Nafis, op.cit., Hal: 113-114
[11] Ibid, Hal: 115
[12] Frithjof Schuon, The
Transcendent Unity of Religion, Wheaton Illinois, the Philosophical
Publishing House, 1984, Hal: 95-96
[13] Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis,
op.cit., Hal: 115-116
[14] Penjelasan lebih luas
mengenai hal ini, lihat Frithjof Schuon, The Transcendent… op.cit., Hal:
96
[15] Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis,
op.cit., Hal: 121
[16] Ibid, Hal: 122
[17] Ibid, Hal: 123
[18] John Hick, The Fifth Dimension, (Oxford;
Oneworld, 1999), Hal: 10
[19] John Hick, An
Interpretation of Religion; Human Responses to the Transcendent, (London;
Macmillan, 1989), Hal: 247
[20] Lihat makalah Anis Malik Thoha, Mencermati
Doktrin Pluralisme Agama, disampaikan pada seminar nasional dengan tema
"Problem Epistemologi Pluralisme Agama" di Graha Watoe Dhakon STAIN
Ponorogo, 4 Juli 2011, Hal: 3
[21] Republika Online atau Koran Republika, Kamis
21/4/2011 kolom Jurnal Islamia, Kupas Tuntas Bahaya dan kekeliruan Paham
Pluralisme.
Oleh: Fadlurrahman Ashidqi / Mahasiswa Unida
Kunjungi Lapak Kami Dhamar Mart,,, Harga kesepakatan penjual dan pembeli.
Instagram @dhamar_mart
Instagram @dhamar_hijab
FB Dhamar Mart
Instagram @dhamar_mart
Instagram @dhamar_hijab
FB Dhamar Mart
Share it to your friends..!
0 comments "Bentuk dan Substansi Agama-Agama Perspektif Perennial", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment
Anda peminat madu asli?
Kunjungi target='blank'>Amiriyah madu