Pendahuluan
Sejarah telah menunjukkan bahwa
Usaha Kecil dan Mikro (UKM) di Indonesia tetap eksis dan berkembang dengan
adanya krisis ekonomi yang telah melandanegeri ini sejak tahun 1997, bahkan
menjadi katup penyelamat bagi pemulihan ekonomi bangsa karena kemampuannya
memberikan sumbangan yang cukupsignifikan pada PDB maupun penyerapan tenaga
kerja. Data tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah UKM secara nasional ada 42,4
juta dengan memberikan sumbangan terhadap PDB mencapai Rp.1.013,5 trillun
(56,7% dari total PDB) dan kemampuan penyerapan tenaga kerja sebesar 79 juta
jiwa (BDS LPPM UNS, 2005).
Kecenderungan kemampuan UKM
memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perkembangan perekonomian suatu
negara tidak saja terjadi di Indonesia dan negara-negara berkembang namun juga
terjadi di negara-negara maju pada saatsaat negara tersebut membangun kemajuan
perekonomiannya sampai sekarang. Kondisi demikian mendorong Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menetapkan tahun 2004 sebagai tahun International microfinance.
Hal ini dimasudkan tidak saja untuk menunjukkan keberpihakan badan dunia
tersebut terhadap UKM namun juga dalam rangka mendorong negara berkembang untuk
lebih memberikan perhatian pada pemberdayaan UKM dengan cara memberikan
berbagai stimulan dan fasilitasi.
Sejalan dengan program PBB tersebut,
pemerintah Indonesia menetapkan tahun 2005 sebagai “Tahun UMKM Indonesia”
dengan melakukan berbagai instrumen dan program fasilitasi pemberdayaan UKM di
tingkat nasional, sedangkan untuk di daerah diharapkan dilakukan oleh
pemerintah daerah.[1]
Dan Globalisasi merupakan kondisi
yang menciptkan suatu keniscayaan bagi negara-negara dunia ketiga terutama
Indonesia, kekuatannya tidak bisa ditandingi oleh sistem regulasi yang
tertutup, globalisasi juga bisa membuat negara tersebut maju dan globalisasi
juga bisa membuat negara tersebut menjadi miskin. Logical Framework of
Globalization adalah bagaimana dunia ini merupakan dunia tanpa batas, dan
globalisasi juga menciptakan keterbukaan terutama dalam perdagangan Internasional,
sehingga globalisasi di klaim oleh pecinta globalisasi sebagai formula untuk bias
memajukan negara yang miskin, berkembang dan menjadi negara yang maju.
Globalisasi telah menciptakan
pertumbuhan bagi negara-negara di Asia dengan ditunjukan oleh banyaknya orang
yang sejahtera karena eksport industrialisasi, tetapi banyak juga mengagap
bahwa dengan globalisasi orang tereksploitasi oleh prosesnya. Oleh karena itu
globalisasi bagi negara berkembang dalam hal ini Indonesia merupakan suatu
potret suram akibat keganasan globalisasi, hal yang kasat mata adalah semakin
miskinnya orang Indonesia.[2]
Pembahasan
A.
Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Korten (1984), masa pasca
industri akan menghadapi kondisikondisi baru yang sama sekali berbeda dengan
kondisi di masa industri, dimana potensi-potensi baru penting dewasa ini
memperkokoh kesejahteraan, keadilan, dan kelestarian umat manusia. Titik pusat
perhatiannya adalah pada pendekatan ke arah pembangunan yang lebih berpihak
kepada rakyat.
Logika paradigma ini yang menonjol
adalah logika lingkungan hidup manusia yang berimbang; sumber dayanya yang
dominan adalah sumber daya informasi dan prakarsa yang kreatif yang tak kunjung
habis; dan sasarannya yang dominan adalah pertumbuhan umat manusia yang
dirumuskan dalam rangka lebih terealisasinya potensi umat manusia. Individu
bukanlah sebagai obyek, melainkan berperan sebagai pelaku, yang menentukan
tujuan, mengontrol sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi
hidupnya sendiri.
Seminar Nasional Pengembangan SDM
Indonesia,Bogor 21 September 2005 4 Kesejahteraan dan realisasi diri manusia
merupakan jantung konsep pembangunan yang memihak rakyat dan pemberdayaan
masyarakat. Perasaan berharga diri yang diturunkan dari keikutsertaan dalam
kegiatan produksi adalah sama pentingnya bagi pencapaian mutu hidup yang tinggi
dengan keikutsertaan dalam konsumsi produk-produknya. Keefisienan sistem
produksi, karenanya haruslah tidak semata-mata dinilai berdasar
produk-produknya, melainkan juga berdasar mutu kerja sebagai sumber penghidupan
yang disediakan bagi para pesertanya, dan berdasar kemampuannya menyertakan
segenap anggota masyarakat. Salah satu perbedaan penting antara pembangunan
yang memihak rakyat dan pembangunan yang mementingkan produksi ialah bahwa yang
kedua itu secara terus menerus menundukkan kebutuhan rakyat di bawah kebutuhan
sistem agar sistem produksi tunduk kepada kebutuhan rakyat (Korten, 1984).[3]
Untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat secara umum dapat diwujudkan dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar
pendampingan masyarakat (Karsidi, 1988), sebagai berikut:
1. Belajar Dari Masyarakat Prinsip
yang paling mendasar adalah prinsip bahwa untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ini berarti, dibangun pada
pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan relevansi pengetahuan tradisional
masyarakat serta kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalahnya
sendiri.
2. Pendamping sebagai Fasilitator,
Masyarakat sebagai Pelaku Konsekuensi dari prinsip pertama adalah perlunya
pendamping menyadari perannya sebagai fasilitator dan bukannya sebagai pelaku
atau guru. Untuk itu perlu sikap rendah hati serta ketersediaan untuk belajar
dari masyarakat dan menempatkan warga masyarakat sebagai narasumber utama dalam
memahami keadaan masyarakat itu sendiri. Bahkan dalam penerapannya masyarakat dibiarkan
mendominasi kegiatan. Kalaupun pada awalnya peran pendamping lebih besar, harus
diusahakan agar secara bertahap peran itu bisa berkurang dengan mengalihkan
prakarsa kegiatan-kegiatan pada warga masyarakat itu sendiri.
3. Saling Belajar, Saling Berbagi
Pengalaman Salah satu prinsip dasar pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat
adalah pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan lokal masyarakat. Hal ini bukanlah
berarti bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah.
Kenyataan objektif telah membuktikan bahwa dalam banyak hal perkembangan
pengalaman dan pengetahuan lokal (bahkan tradisional) masyarakat tidak sempat
mengejar perubahan-perubahan yang terjadi dan tidak lagi dapat memecahkan
masalah-masalah yang berkembang. Namun sebaliknya, telah terbukti pula bahwa
pengetahuan modern dan inovasi dari luar yang diperkenalkan oleh orang luar
tidak juga dapat memecahkan masalah mereka. Bahkan dalam banyak hal,
pengetahuan modern dan inovasi dari luar malah menciptakan masalah yang lebih
besar lagi. Karenanya pengetahuan local masyarakat dan pengetahuan dari luar
atau inovasi, harus dipilih secara arif dan atau saling melengkapi satu sama
lainnya.
B.
Perkembangan Ekonomi Mikro Di Indonesia
Setelah krisis ekonomi dan pemulihan
berjalan selama tujuh tahun, beberapa studi telah menunjukkan bahwa ekonomi
Indonesia tidak hanya mengandalkan peranan usaha besar, dan UMKM terbukti
mempunyai ketahanan relatif lebih baik dibandingkan usaha dengan skala lebih
besar. Tidak mengherankan bahwa baik pada masa krisis dan masa pemulihan
perekonomian Indonesia saat ini, UMKM memiliki peranan yang sangat strategis
dan penting ditinjau dari berbagai aspek. Pertama, jumlah industrinya yang
besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi. Kedua, potensinya yang besar
dalam menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bila dibandingkan dengan
investasi yang sama pada usaha dengan skala lebih besar. Ketiga, kontribusi
UMKM dalam pembentukkan PDB cukup signifikan. Keempat, memiliki sumbangan
kepada devisa negara dengan nilai ekspor yang cukup stabil.[4]
Peranan pemberdayaan seharusnya bisa
terealisasi apabila pemerintah dan swasta bisa menciptakan suatu program yang
sifatnya memberikan akses modal kepada usaha mikro, sebab kendala yang banyak
dihadapi oleh usaha ini adalah masalah permodalan, fenomena permodalan ini
apabila kita kaji lebih empiris di lapangan yaitu masih adanya ketidakadilan
dalam penyalurannya, misalnya usaha mikro sering dipersulit untuk bisa mendapatkan
modal, seperti prosedur yang berbelit-belit, harus ada jaminan, serta banyak
lembaga keuangan tidak menyediakan permodalan bagi usaha mikro. Dan fenomena
tersebut bisa kita lihat secara kasat mata sehingga dengan fenomena tersebut
pemerintah dan swasta belum berpihak pada pembangunan yang berbasiskan
kerakyatan.
Sehingga usaha mikro sering
mengalihkan pinjaman permodalan kepada lembaga-lembaga keuangan informal,
sehingga yang terjadi adalah penghisapan atau eksploitasi oleh lembaga informal
dalam hal ini rentenir, eksploitasi tersebut terjadi dengan bunga yang tinggi,
tetapi eksploitasi tersebut bisa dinikmati atau diterima oleh usaha mikro, nah
itu merupakan fenomena yang harus segera dijawab oleh pemerintah dengan membuat
kebijakan yang benar-benar diimplementasikan.
Tanamlah bibit yang baik mulai dari
sekarang, walaupun hari esok kiamat”. Rasanya peribahasa itu cocok untuk
Indonesia yang sedang terseok-seok menghilangkan image sebagai negara dengan tingkat
korupsi 2.6 (Data ICW dari transparansi Indonesia). Nilai yang cukup buruk kata
ICW, mengingat bahwa nilai yang bagus (perfect) dari indeks persepsi korupsi
tersebut adalah di atas 8. Bahkan Indonesia berada di posisi nomor di bawah
Vietnam. Jauh di atas Singapura dan Malaysia yang mempunyai indeks persepsi
korupsi mencapai 5. Baru kemarin Indonesia (dan negara-negara lain di dunia
yang menandatangani pakta anti korupsi pada tahun 2003) merayakan atau
memperingati hari antokorupsi. Dan kantin kejujuran dibuka dimana-mana,di
sekolah-sekolah dari mulai Perguruan Tinggi, SMA, SMP dan sekolah dasar. Dan
baru kemarin pula (9 Dsember 2008), Bapak SBY memberikan pidato kepresidenan
yang menyatakan bahwa ada 8 pos utama yang membuat korupsi di negara Indonesia
meraja sampai sekarang ini. Kesemuanya adalah sebuah pos perekonomian makro.
Bukanlah korupsi di lembaga mikro. Lembaga-lembaga yang jauh dari “pejabat” dan
“kekuasaan”. Apakah memang di ladang pos ekonomi “makro” itukah benar-benar
janung perekonomian negara kita bercokol di situ? Sehingga jika pos-pos
tersebut goyah maka negara juga goyah? Atau ada sektor lain untuk memberdayakan
perekonomian kita sehingga meuju kemapanan?
Pemberdayaan atau dalam bahasa
aslinya adalah empowerment. Merupakan sebuah istilah untuk mendefinisikan suatu
kegiatan untuk menggalakkan atau meningkatkan nilai geraknya. Ekonomi mikro
sudah sejak lama sebenarnya menjadi tulang punggung negara kita. Tengoklah
koperasi yang sudah sejak dari dulu (kurang lebih tahun 50an), adalah idola
masyarakat Indonesia. Jika kekurangan modal atau ingin pinjam uang sekadar
untuk membiayai anak sekolah, maka koperasi adalah jawabanya. Bukan yang lain.
Dan pada jaman itu pula (menurut orang-orang yang hidup pada jaman itu, dan
sampai sekarang masih hidup), terjadi jaman makmur. Rakyat tidak pernah
merasakan kekurangan. Baru pada tahun 1960-an, tindakan subversif PKI mulai
mengawali ”swasembada” pangan rakyat mulai buyar. Tahun 70-80an ketergantungan
terhadap lembaga keuangan mikro yang bernama koperasi perlahan-lahan luntur.
Era berikutnya sampai sekarang, lembaga keuangan mikro sejenis mulai tergeser
oleh Bank (yang notabene sebagai lembaga keuangan makro). Yang menyedihkan
lagi, justru semakin ke era reformasi dan demokrasi sekarang ini, yang namanya tengkulak
dan debt collector atau lintah darat tetap berjaya menyelenggarakan prakteknya.
Rakyat kecil sulit percaya pada lembaga keuangan makro seperti bank karena
prosedurnya dianggap susah, bunganya tinggi.
Yang diperlulakan adalah sebuah
pemberdayaan lembaga keuangan mikro yang ”mantap”. Semenjak ”turunnya” fungsi
lembaga keuangan mikro yang mulai hilang dari kepercayaan rakyat, maka
pemerintah telah menggulirkan berbagai macam program. Mulai dari pemahaman
koperasi di sekolah-sekolah (dijadikan pelajaran sampai koperasi sekolah),
sampai program0program modern seperti saat ini. Ada KUR (Kredit Usaha Rakyat),
BLT dan semacamnya. Program-program itu tidak semuanya benar-benar menggandeng
lembaga keuangan mikro yang lebih dekat dengan rakyat. BLT disampaikan langsung
ke rakyat. Tidak ada kerjasama atau kolaborasi dengan lembaga keuangan mikro
seperti BPR (Bank Perkreditan Rakyat), BMT dan koperasi simpan pinjam. KUR
justru lebih ”bersahabat” dengan bank-bank besar seperi Mandiri dan BRI.
Program pemberdayaan dan
pendampingan dari lembaga keuangan mikro kepada usaha rakyat kecil (baca: UKM,
usaha kecil menengah) memang tidak sedikit. Pemerintah berualng-ulang membuat
program baru, tapi apakah dilakukan secara konsisten dari tahun ke tahun, dan
kebijakan ekonomi makro berpihak pada kebijakan ekonoi mikro? Tidak semuanya
ternyata. Sebagai contoh di Manding Yogyakarta. Adalah sebuah komplek kerajinan
kulit untuk menghasilkan produk tas, sepatu dan sabuk. Sekarang terpuruk karena
kalah nilai jualnya dengan investor-investor asing dari luar negri yang membuat
pabrik di Jogja. Kebijakan pemerintah setempat mengijinkan investor asing
membuat pabrik pesaing dari para pengrajin Manding. Terpuruklah sekarang.
Koperasi di daerah Manding tidak bisa berkutik. Investor asing membuat pabrik
langsung di Jogja dengan alasan padat karya. Dan pemerintah setempat dengan
”kebijakan ekonomi makro”nya mengijinkan. Tentu saja harga jual produk pabrik
bisa lebih rendah, dan laris manis di pasaran. Produk dari pengrajin Manding,
dengan harga sedikit lebih mahal, perlahan-lahan ”dimatikan” sendiri oleh
kebijakan ekonomi makro pemerintah. Kondisi yang terjadi sekarang, para
pengrajin memilih berhenti memproduksi kerajinan kulit, dan memasok barang dari
daerah Jawa Timur seperti Magetan dan Ngawi, yang produknya lebih murah,
sehingga laku di pasaran.
Kondisi sekarang (2008) memang sudah
”lebih diperhatikan” oleh pemerintah. Bank Indonesia melalui pemberdayaan UKM
mulai ”memberdayakan” pengrajin Manding untuk bangkit. Tapi tetap saja
kebijakan ekonomi makro belum sinkron, dan butuh waktu lama untuk memperbaiki
”ekonomi” warga Manding.
Pembangunan mal-mal dan pusat
perbelanjaan supermarket juga bukan hal yang ”bijak” untuk pemberdayaan ekonomi
mikro. Sebagai contoh didirikannya CareFour di Jogja. Terang saja masyarakat
berduyun-duyun untuk datang dan rajin belanja di sana. Suasana lebih nyaman,
bisa nongkrong dan murah pula. Dan masyarakat sejatinnya memberikan keuntungan
paling besar kepada pemilik CareFour, investor dari Prancis, bukan masyaraat
pribumi. Para penjual jajanan di pasar, toko-toko kecil yang berjumlah ratusan
dan ribuan mulai “dimatikan” secara perlahan-lahan oleh kebjikan ekonomi makro.
Kebijakan ”membolehkan” supermarket atau pusat perbelanjaan dengan investor
dari luar negri untuk ”memupuk” kekayaan yang berlimpah ruah. Tapi UKM dan
warga pribumi Indonesia hanya dapat keuntungan yang sedikit. Sedikit
dibandingkan dengan investor asisng. Memang seolah-olah pembangunan Mal adalah
padat karya, tapi jika dihitung jangka panjang, belum tentu seperti itu.
Kebijakan ekonomi mikro memang lebih
tidak popular ”diperhatikan” oleh pemerintah. Padahal kebijakan ekonomi makro
adalah kumpulan dari pembangunan ekonomi-ekonomi mikro. Indonesia yang punya
predikat negara ke-4 dunia (data tahun 2008) dan hutan terluas ketiga di dunia
(data tahun 2008), adalah negara yang sangat komplek. Dan kekomplekan berasal
dari ”puing-puing” yang kecil. ”Puing-puing” ekonomi Indonesia adalah ekonomi
mikro; BPR, BMT, Koperasi Simpan Pinjam, UKM dan sejenisnya. Keterpurkan
impor-impor komoditas pangan (padahal Indonesia adalah negara dengan julukan
gemah ripah loh jinawi), seperti kedelai (impor tahun 2008 diperkirakan 800
ribu ton, dengan kebutuhan 2 juta ton), dan beras (impor tahun 2008 bisa
mencapai 400 ribu ton, dengan kebutuhan kurang lebih 2 juta ton); sudah saatnya
diakhiri.
Penutup
Pemberdayaan Ekonomi Mikro di
Indonesia hendaknya mengacu pada prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat,
yaitu: belajar dari masyarakat, pendamping sebagai fasilitator dan dapat
tercipta saling belajar dan berbagi pengalaman.
Sehingga dapat membangaun
perekonomian Indonesia yang lebih baik dan dapat menjadikan perekonomian yaag
setabil. Dan dibutuhkan semua pihak
untuk membantu membeli hasil pangan dari rakyat, pemberdayaan lembaga keuangan mikro, UKM
bekerjasama dengan lembaga keuangan mikro (BMT, BPR, Kospinjasa, Koperasi
Karyawan, dll), dan kebijakam makro yang selalu ”mendukung” pemberdayaan
ekonomi makro. Tidak ”seolah-olah membiarkan” keuntungan terbesar perekonomian
berada di investor asing.
Implementasi kebijakan dalam rangka
strateg pemberdayaan masyarakatuntuk
mengembangkan UKM tidak bisa secara parsial hanya bidang ekonomi permodalan
saja, namun juga harus berorientasi secara keseluruhan atas kebutuhan UKM baik
secara individu maupun kelompok termasuk mendasarkan pada potensi sumberdaya
manusianya. Dengan melibatkan secara partisipatif dan lebih bersifat bottom up
ternyata partisipasi UKM untuk pemberdayaan diri mereka sendiri akan berhasil
dan pada gilirannya secara intergral akan mampu memberikan dampak perkembangan
bagi perekonomian wilayah.
Refrensi:
BDS LPPM UNS. 2005. Pasar
Keuangan Mikro. Pelatihan Kredit Usaha Mikro dan Kecil Bagi Bank Umum.
Kerjasama LPPM UNS dengan BI Kediri.
Karsidi, Ravik.2005 Pemberdayaan Masyarakat Untuk Usaha Kecil
Dan Mikro, Disampaikan Dalam Seminar Nasional “Pengembangan Sumberdaya
Manusia Indonesia”( Bogor).
http://bertha-40207208.blogspot.com/2010/03/artikel-perkembangan-ekonomi-mikro-di.html
http://haniyulianti.blogspot.com/2010/03/perkembangan-ekonomi-mikro-di-indonesia_15.html
http://nurrahmanarif.wordpress.com/2008/12/10/pemberdayaan-ekonomi-mikro-indonesia/
.
[1] Ravik
Karsidi, Pemberdayaan Masyarakat Untuk Usaha Kecil Dan Mikro, Disampaikan
Dalam Seminar Nasional “Pengembangan Sumberdaya Manusia Indonesia”( Bogor:
2005).
[3] Ibid”hal: 3
[5] http://nurrahmanarif.wordpress.com/2008/12/10/pemberdayaan-ekonomi-mikro-indonesia/
oleh : abdul latif / mahasiswa UNIDA Ponorogo
Kunjungi Lapak Kami Dhamar Mart,,, Harga kesepakatan penjual dan pembeli.
Instagram @dhamar_mart
Instagram @dhamar_hijab
FB Dhamar Mart
Instagram @dhamar_mart
Instagram @dhamar_hijab
FB Dhamar Mart
Share it to your friends..!
0 comments "Tugas Mikro Ekonomi", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment
Anda peminat madu asli?
Kunjungi target='blank'>Amiriyah madu