Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh
sendi kehidupan umat Islam. Tujuan utama seluruh hukum yang diperintahkan Allah
adalah untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan makhluk dan menghindarkan kerusakan. Selain
berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi tuntunan bagi umat Islam
dalam penyelesaian berbagai masalah kehidupan. Sumber utama syariat Islam
adalah al-Qur’an dan hadis
Nabi. Maka, sebagian penganut Islam menganggap syariat Islam sebagai panduan
menyeluruh dan sempurna bagi seluruh permasalahan hidup manusia. Gubernur Provinsi Aceh menyatakan, penerapan syariat Islam di Aceh merupakan bagian dari
sistem hukum nasional. Otorisasi hukum seperti ini adalah amanah konstitusi
Republik Indonesia, yang menghargai dan menghormati satuan-satuan masyarakat
hukum yang memiliki kekhususan dan karakteristik tersendiri. Dengan demikian, pelaksanaan
syariat Islam di Aceh adalah upaya negara untuk membangun masyarakat Aceh,
supaya hidup sesuai dengan keyakinan dan ajaran agamanya masing-masing. Meskipun penerapan perda syariat Islam
bisa dibilang adalah wujud dari aspirasi daerah, munculnya banyak perda syariat
di berbagai daerah (bukan hanya di Aceh) dipandang sebagian kalangan sebagai
hal yang sangat menarik. Kelompok yang setuju melihat, perda syariat adalah
jawaban dari carut marutnya kondisi bangsa ini, karena sudah sangat jauh dengan
hukum-hukum Allah SWT. Namun, kelompok yang kontra menilai bahwa ditetapkannya
perda bernuansa agama (perda syariat Islam) dipandang sebagai salah satu bukti
pelanggaran yang dilakukan pemerintah daerah, dengan melampaui batas kewenangan
yang seharusnya merupakan kewenangan dari pemerintah pusat.
Home » Archives for 2014
Saturday, April 5, 2014
Wudhu
Wudhu’ sebagai
rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari ibadah seorang hamba,
khususnya ibadah mah}d}ah. Wudhu’ seseorang
dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan wudhu’ ini dalam fiqh
biasa diistilahkan dengan Nawa>qid} al-Wudhu>’ (pembatal-pembatal
wudhu).
Nawa>qid} al-Wudhu>’ ini ada yang disepakati oleh ulama karena
adanya sandaran dalil dari al-Qur’an dan a-Sunnah serta
telah terjadinya ijma’ di antara para ulama tentang permasalahan tersebut.
Namun ada juga yang masih diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai
pembatal wudhu’ ataupun tidak.
Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari al-Qur’an dan al-Sunnah serta
tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad
masing-masing ahl ‘ilmiy. Dalam hal ini, para ulama madhhab melalui hasil ijtihad mereka, telah merumuskan secara jelas tentang Nawa>qid} al-Wudhu>’, baik yang sudah disepakati ataupun
yang masih diperdebatkan dengan tetap mengedepankan al-Tasa>muh} diantara mereka. Hasil buah fikir seperti inilah yang menambah kekayaan
tradisi keilmuan Islam, khususnya dalam khazanah hukum Islam.
Dalam kajian tentang usu>l al-Syari>’ah, para ulama fiqh biasa membagi dalil-dalil ahka>m ke dalam dua kategori, yaitu dalil qat}’iy dan z}anniy. Dalil qat}’iy adalah ayat-ayat al-Qur’an atau hadis muta>watir yang tidak mengandung pengertian lain dari yang tertulis. Jadi, isi yang dikandungnya jelas, tegas dan dari sumber yang kuat. Sedangkan dalil yang z}anniy adalah dalil yang masih mengandung pengertian lain dari yang tertulis dan berasal dari sumber yang tidak
kuat. Dalam pengertian lain bahwa qat}’iy adalah nas} syara’ yang hanya mempunyai satu petunjuk
dalam bentuk yang tidak diragukan lagi, sedang z}anniy adalah nas} syara’ yang mempunyai lebih dari satu
penunjukkan dan tidak kuat. Terkait dengan pembagian yang terkesan parsial di
atas, Ima>m al-Sha>t}ibi> dalam karyanya al-Muwa>faqa>t memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya,
di dalam menentukan sebuah hukum, hendaknya seorang mujtahid tidak terjebak
dalam penggunaan dalil secara parsial, tetapi harus memperhatikan dulu kulliya>t al- Syari>’ah. Di sini al-Sha>t}ibi mencoba menjelaskan dasar-dasar usu>l al-Fiqh dengan metodologi baru yang berlandaskan pada
penelitian penuh (istiqra>’) dari dua sumber syari’ah utama Islam, al-Qur’an
dan al-Sunnah, dan juga menjelaskan dasar-dasar utama untuk memahami syari’ah Islamiyah
secara lebih menyeluruh.
Sunday, March 23, 2014
Sistem Ekonomi Islam Vs Sistem Ekonomi Konvensional
Sistem Ekonomi Islam merupakan Madzhab ekonomi islam, yang
terjelma di dalammya bagaimana cara islam mengatur kehidupan perekonomian,
dengan apa yang dimiliki dan ditunjukkan oleh madzhab ini tentang ketelitian
cara berfikir yang terdiri dari nilai-nilai moral islam dan nilai-nilai
ekonomi, atau nilai-nilai sejarah yang ada hubunganya dengan uraian sejarah
masyarakat (M.Baqir As.Shadr, 1968)
Kapitalisme
adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya
untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka
pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama.
Walaupun demikian, kapitalisme sebenarnya tidak memiliki definisi universal
yang bisa diterima secara luas.
Beberapa
ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di
Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan
komersial Eropa di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak
sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan
benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna
proses perubahan dari barang modal ke barang jadi. Untuk mendapatkan
modal-modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin
dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai
lebih dari bahan baku tersebut.
Kemudian dalam praktik ekonomi Islam, menunjukkan adanya hal
baru dibandingkan sistem-sistem klasik, berupa penekanannya yang tidak melulu
pada pendekatan hasil (output), melainkan juga menekankan bagaimana prosesnya.
Pendekatan proses ini menjadi penting dalam menentukan keberhasilan dalam
sistem ekonomi Islam, karena jika penekanan pada hasil atau output saja, maka
di dalamnya akan melahirkan pola yang cenderung eksploitatif karena tujuan
menentukan cara, atau yang lazim dikenal, tujuan menghalalkan segala cara.
Sistem ekonomi Islam muncul selari dengan perkembangan umat
Islam itu sendiri. Hal ini ditandai dengan didirikannya institusi-institusi
keuangan Islam yang mengamalkan sistem bebas riba/bunga. Realitinya, kebanyakan
masyarakat masih ada yang belum mengenal sistem tersebut secara benar. Sebagian
masyarakat bahkan ahli profesional dan ekonomi masih menganggap bahwa sistem
ekonomi Islam akan menghadapi kesukaran dalam persaingan dengan sistem keuangan
konvensional. Ia (sistem ekonomi konvensional) cenderung lebih cepat berkembang
dan bergerak lebih depan dalam era globalisasi. Karena kebanyakan sistem
keuangan dunia masih bergantung kepada sistem yang berbasiskan kepada bunga.
Terdapat suatu anggapan bahwa salah satu masalah yang
dihadapi oleh sistem ekonomi Islam ialah sistem tersebut tidak mampu
mengalokasikan sumber secara optimum. Hal ini disebabkan bahwa bunga adalah
harga. Pendapat lain mengatakan jika tidak ada bunga sebagaimana dalam sistem
ekonomi Islam dana pinjaman akan diberikan kepada peminjam secara sukarela
sehingga permintaan terhadap pinjaman mengalami lonjakan sehingga tidak ada
suatu mekanisme yang dapat mengembangkan permintaan dan penawaran. Artinya,
bahwa bunga merupakan satu-satunya kekuatan, jika tidak, sumber keuangan akan
digunakan secara tidak efisien bagi masyarakat.
Berbeda dari sistem ekonomi konvensional, di dalam sistem
ekonomi Islam dana akan tersedia jika ada biaya dan biaya tersebut terdapat di
dalam konsep keuntungan. Tingkat keuntungan menjadi kriteria untuk mengalihkan
sumber sekaligus untuk membuat keseimbangan antara permintaan dan penawaran.
Semakin besar keuntungan yang diharapkan dari suatu perniagaan semakin besar
pula tawaran dana dalam perniagaan tersebut. Apabila keuntungan aktual suatu
perniagaan senantiasa lebih rendah dari yang diharapkan maka perniagaan
tersebut akan mengalami kesulitan meningkatkan dana di masa depan.
Strategi
Efektif Pengembangan Sistem Ekonomi Islam Di Indonesia.
Setelah sebelumnya telah dipaparkan kendala dan tantangan
yang dihadapi dalam pengembangan sistem ekonomi Islam di Indonesia, maka ke
depan harus dilakukan langkah-langkah atau strategi pengembangan untuk
pengimplementasian sistem Ekonomi Islam secara lebih optimal, diantaranya
yaitu:
-
Harus ada wakil yang menyuarakan sistem ekonomi Islam, khususnya di bidang
politik.
-
Mengadakan seminar, diskusi, sarasehan, dan forum-forum ilmiah baik secara
regional, nasional maupun internasional dengan intensif
-
Penyusunan ketentuan-ketentuan sistem ekonomi Islam
-
Mendorong terbentuknya Forum Komuniasi Syariah
-
Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dengan fokus pada gerakan
edukasi dan sosialisasi yang dilakukan secara optimal dan tepat
-
Penelitian preferensi dan perilaku konsumer terhadap lembaga-lembaga syariah
-
Mempersiapkan teknologi informasi yang handal
-
Mempersiapkan lembaga penjamin pembiayaan Syariah
-
Mendorong terbentuknya Islamic Trade Center
-
Memberdayakan pengawasan aspek Syariah
-
Dll.
Beberapa
batasan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
Sistem Ekonomi Islam merupakan Madzhab ekonomi islam, yang
terjelma di dalammya bagaimana cara islam mengatur kehidupan perekonomian,
dengan apa yang dimiliki dan ditunjukkan oleh madzhab ini tentang ketelitian
cara berfikir yang terdiri dari nilai-nilai moral islam dan nilai-nilai
ekonomi, atau nilai-nilai sejarah yang ada hubunganya dengan uraian sejarah
masyarakat (M.Baqir As.Shadr, 1968)
Sistem
Ekonomi Kapitalis (Liberalis) : Suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada azas
Lisses Faire, Laisses Aller, kesejahteraan umum akan
tercapai dengan sendirinya jika setiap orang, setiap individu dibiarkan bebas
tanpa adanya campur tangan pemerintah; karena didorong oleh kepentingannya
pribadi, maka produksi akan disempurnakan dan terus meningkat dengan sendirinya
(Adam Smith, 1775. terjemahan).
Dasar-dasar Sistem Ekonomi Islam
Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah
kepada Sang Pencipta, sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan
bumiNya dengan adil. Maka dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa
dimanfaatkan dan menjadikan manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu agar
dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari prinsip penciptaan dan konsep
kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik benang merah untuk
membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda (kepemilikan
individual dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi
kepentingan umum. Tetapi di sini penulis berusaha fokus pada masalah
kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan kepemilikan umum) yang
bertentangan dengan sosialis maupun kapitalis.
a.
Kepemilikan Individual
Manusia diciptakan dengan fitrah yang sudah ditetapkan oleh
Allah dan tidak akan keluar dari fitrah tersebut. Hal itu sesuai dengan dengan
firmanNya surat ar Rum ayat 30 “30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Kemudian ada
sebuah hadits yang juga berbicara tentang hal yang sama “Tidaklah seseorang itu
dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang
menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”
Ketika fitrah yang dimaksudkan adalah hal yang mencakup
segala aspek kehidupan, maka apa sebenarnya fitrah manusia dalam hal keuangan
dan perkonomian? Allah berfirman dalam surat al ‘Adiyat ayat 8 “Dan
Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya kepada harta.” Meskipun para
ahli tafsir mempunyai perbedaan pendapat tentang hakekat dari ‘berlebihan’
dalam hal kecintaan mereka ini, tapi perbedaan itu tidak begitu jauh, yang
intinya manusia itu menyukai harta. Dalam Shohih Muslim disebutkan “Andai kata
seorang anak Adam mempunyai 2 lembah yang berisi harta, niscaya mereka akan mencari
yang ketiga.”
Berlandaskan dari nash yang disebutkan di atas, maka syariah
memberi jawaban untuk fitrah dari model ekonomi Islam, yaitu kepemilikan
individual. Tetapi kepemilikan individual di sini tidak sama sebagai mana
yang ada pada kapitalisme yang malah menjerumuskan manusia pada kecintaan
materi. Maka kepemilikan individual dalam Islam memiliki batas-batas,
ketentuannya, serta kewajibannya sendiri yang nantinya akan saling melengkapi
dengan kepemilikan umum sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelum ini.
Al Qur’an juga menerangkan dalam beberapa ayat yang
menisbahkan harta kepada individual, diantaranya adalah “Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil.” Atau ayat lain “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu.”. Jika dihitung, maka setidaknya kita akan
mendapatkan 54 ayat yang menisbahkan harta kepada individual, dan itu belum
termasuk bentuk kalimat yang tidak langsung.
Kepemilikan individual yang sudah dijelaskan di atas sama
sekali tidak bertentangan dengan prinsip kepemilikan mutlak yang dinisbahkan
kepada Sang Pencipta Alam. Atau dengan kata lain bahwa pemilik haqiqi
sebenarnya Allah. Disebutkan dalam firmanNya “107. Tiadakah kamu mengetahui
bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?” Maka Dialah Sang
Pemilik yang mempunyai segalanya tanpa batasan dan ketentuan. Adapun posisi dan
fungsi manusia tidak lain hanyalah sebagai khalifah di atas bumi.
Tidak adanya pertentangan antara kepemilikan haqiqiNya
dengan kepemilikan individual manusia sebagai khalifah di atas bumi ini tidak
jauh beda dengan kepemilikan ilmu yang dinisbahkan kepadaNya juga. Allah
mempunyai sifat al milku (kepemilikan) dan juga sifat al ‘ilmu, ar rahmân dan
berbagai macam sifat lainnya. Sebagaimana manusia memiliki al ‘ilmu dan ar
rahmân dengan karakteristiknya sebagai ‘yang diciptakan’ dan bukan Yang
Menciptakan. Maka dari itu tidak mungkin kita sifati manusia dengan al ‘ilmu
yang dimiliki Sang Pencipta. Kita menyandarkan suatu sifat kepada manusia tidak
lain berdasarkan pada sesuatu parsial, dan bukan keuniversalan dari sifat tadi
karena sifat-sifat tersebut tidak lain adalah milikNya semata.
b.
Kepemilikan Umum
Dr.
Robi’ Mahmud Ruby menerangkan yang dimaksud dengan kepemilikan umum dalam Islam
yaitu segala sesuatu yang bukan merupakan kepemilikan individual. Di sini Dr.
Robi’ membagi kepemilikan individual menjadi 2:
1.
Kepemilikan negara
Dr. Robi’ menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan
negara di sini bisa diartikan layaknya kepemilikan individual milik negara.
Maka yang termasuk dalam golongan ini adalah berbagai firma serta perusahaan
atau lembaga-lembaga lain yang mana seorang pemimpin negara atau pejabat
pemerintahan mempunyai hak dalam mengelolanya. Tentunya hak ini berasaskan
maslahat dari rakyat sang pemimpin tersebut. Sedangkan Dr. Dawabah menambahkan
bahwa yang termasuk dalam golongan ini nantinya bisa menjadi sumber pemasukan
untuk baitul mal yang kemudian pemerintah menggunakannya untuk hal-hal yang
mengandung maslahat umum.
2.
Kepemilikan majemuk dari masyarakat
Sudah maklum bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari
beberapa orang atau individu. Maka yang dimaksudkan dengan kepemilikan majemuk
ini adalah segala jenis sumber daya yang bisa dipergunakan oleh majemuk dari
masyarakat dimana tidak ada satu individu yang boleh memilikinya secara
pribadi. Diantaranya adalah jalan, air, api, rumput lapang, jembatan dan sumber
daya lain yang sejenisnya. Maka dalam bahasa lain bisa diartikan bahwa
kepemilikan majemuk di sini adalah sumber daya yang dihasilkan tanpa adanya
ikut campur satu orang pun di dalamnya. Selain itu sumber-sumber tersebut bisa
didapatkan dengan mudah, ditambah lagi bahwa wujudnya adalah sesuatu yang
primer bagi kalangan majemuk.
Ada sebuah atsar yang sangat pas untuk menggambarkan posisi
pemimpin dari pada kepemilikan umum ini. Umar bin Khattab berkata “barang siapa
yang ingin meminta harta (umum) maka hendaklah ia datang padaku. Karena
sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan aku penjaga (khâzin) baginya.” Dari
ungkapan yang singkat ini setidaknya dapat diambil dua hal. Yang pertama adalah
tugas seorang khalifah, yaitu menjaga serta mendistribusikan harta tadi dengan
adil. Yang kedua bahwasanya pemerintahan tidak berkepentingan untuk ikut andil
dalam masalah produksi. Tugas pemerintah tidak lain memberi pengarahan dan
peninjauan.
Inilah sistem Islam yang memadukan antara kepemilikan
individual dan kepemilikan umum serta membuat batasan dan aturan antara
keduanya. Diantara kelebihannya adalah seputar penetapan zakat, kharraj,
jizyah, usyur, dan lain sebagainya. Dan era kegemilangan Islam pada zaman
abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Harun ar Rasyid tidak lepas dari
peletakan dasar ekonomi Islam yang matang dan rapi serta pelaksanaannya yang
penuh amanat. Bahkan diantara syarat untuk menjadi pegawai pajak adalah baik
agamanya, amanat, menguasai ilmu fikih dan lain-lain sebagaimana yang
disebutkan dalam kitab al Kharraj milik Abu Yusuf.
Tidak heran dengan ketetapan-ketetapan finansial yang
berasaskan agama dalam buku al Kharraj menjadikan umat Islam pada masa Abasiyah
merasakan kemakmuran yang dahsyat. Tercatat bahwa dari pajak kharraj saja pada
masa Harun ar Rasyid mencapai 7 juta dirham dan kemudian meningkat pesat pada masa
al Mu’tashim menjadi 30 miliar dirham. Itu baru dihitung dari segi kharraj
tanpa memasukkan sumber pendapatan lain dari berbagai macam jenis keuangan
publik seperti zakat dan lain sebagainya.