Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah
kepada Sang Pencipta, sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan
bumiNya dengan adil. Maka dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa
dimanfaatkan dan menjadikan manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu agar
dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari prinsip penciptaan dan konsep
kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik benang merah untuk
membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda (kepemilikan
individual dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi
kepentingan umum. Tetapi di sini penulis berusaha fokus pada masalah
kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan kepemilikan umum) yang
bertentangan dengan sosialis maupun kapitalis.
a.
Kepemilikan Individual
Manusia diciptakan dengan fitrah yang sudah ditetapkan oleh
Allah dan tidak akan keluar dari fitrah tersebut. Hal itu sesuai dengan dengan
firmanNya surat ar Rum ayat 30 “30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Kemudian ada
sebuah hadits yang juga berbicara tentang hal yang sama “Tidaklah seseorang itu
dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang
menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”
Ketika fitrah yang dimaksudkan adalah hal yang mencakup
segala aspek kehidupan, maka apa sebenarnya fitrah manusia dalam hal keuangan
dan perkonomian? Allah berfirman dalam surat al ‘Adiyat ayat 8 “Dan
Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya kepada harta.” Meskipun para
ahli tafsir mempunyai perbedaan pendapat tentang hakekat dari ‘berlebihan’
dalam hal kecintaan mereka ini, tapi perbedaan itu tidak begitu jauh, yang
intinya manusia itu menyukai harta. Dalam Shohih Muslim disebutkan “Andai kata
seorang anak Adam mempunyai 2 lembah yang berisi harta, niscaya mereka akan mencari
yang ketiga.”
Berlandaskan dari nash yang disebutkan di atas, maka syariah
memberi jawaban untuk fitrah dari model ekonomi Islam, yaitu kepemilikan
individual. Tetapi kepemilikan individual di sini tidak sama sebagai mana
yang ada pada kapitalisme yang malah menjerumuskan manusia pada kecintaan
materi. Maka kepemilikan individual dalam Islam memiliki batas-batas,
ketentuannya, serta kewajibannya sendiri yang nantinya akan saling melengkapi
dengan kepemilikan umum sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelum ini.
Al Qur’an juga menerangkan dalam beberapa ayat yang
menisbahkan harta kepada individual, diantaranya adalah “Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil.” Atau ayat lain “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu.”. Jika dihitung, maka setidaknya kita akan
mendapatkan 54 ayat yang menisbahkan harta kepada individual, dan itu belum
termasuk bentuk kalimat yang tidak langsung.
Kepemilikan individual yang sudah dijelaskan di atas sama
sekali tidak bertentangan dengan prinsip kepemilikan mutlak yang dinisbahkan
kepada Sang Pencipta Alam. Atau dengan kata lain bahwa pemilik haqiqi
sebenarnya Allah. Disebutkan dalam firmanNya “107. Tiadakah kamu mengetahui
bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?” Maka Dialah Sang
Pemilik yang mempunyai segalanya tanpa batasan dan ketentuan. Adapun posisi dan
fungsi manusia tidak lain hanyalah sebagai khalifah di atas bumi.
Tidak adanya pertentangan antara kepemilikan haqiqiNya
dengan kepemilikan individual manusia sebagai khalifah di atas bumi ini tidak
jauh beda dengan kepemilikan ilmu yang dinisbahkan kepadaNya juga. Allah
mempunyai sifat al milku (kepemilikan) dan juga sifat al ‘ilmu, ar rahmân dan
berbagai macam sifat lainnya. Sebagaimana manusia memiliki al ‘ilmu dan ar
rahmân dengan karakteristiknya sebagai ‘yang diciptakan’ dan bukan Yang
Menciptakan. Maka dari itu tidak mungkin kita sifati manusia dengan al ‘ilmu
yang dimiliki Sang Pencipta. Kita menyandarkan suatu sifat kepada manusia tidak
lain berdasarkan pada sesuatu parsial, dan bukan keuniversalan dari sifat tadi
karena sifat-sifat tersebut tidak lain adalah milikNya semata.
b.
Kepemilikan Umum
Dr.
Robi’ Mahmud Ruby menerangkan yang dimaksud dengan kepemilikan umum dalam Islam
yaitu segala sesuatu yang bukan merupakan kepemilikan individual. Di sini Dr.
Robi’ membagi kepemilikan individual menjadi 2:
1.
Kepemilikan negara
Dr. Robi’ menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan
negara di sini bisa diartikan layaknya kepemilikan individual milik negara.
Maka yang termasuk dalam golongan ini adalah berbagai firma serta perusahaan
atau lembaga-lembaga lain yang mana seorang pemimpin negara atau pejabat
pemerintahan mempunyai hak dalam mengelolanya. Tentunya hak ini berasaskan
maslahat dari rakyat sang pemimpin tersebut. Sedangkan Dr. Dawabah menambahkan
bahwa yang termasuk dalam golongan ini nantinya bisa menjadi sumber pemasukan
untuk baitul mal yang kemudian pemerintah menggunakannya untuk hal-hal yang
mengandung maslahat umum.
2.
Kepemilikan majemuk dari masyarakat
Sudah maklum bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari
beberapa orang atau individu. Maka yang dimaksudkan dengan kepemilikan majemuk
ini adalah segala jenis sumber daya yang bisa dipergunakan oleh majemuk dari
masyarakat dimana tidak ada satu individu yang boleh memilikinya secara
pribadi. Diantaranya adalah jalan, air, api, rumput lapang, jembatan dan sumber
daya lain yang sejenisnya. Maka dalam bahasa lain bisa diartikan bahwa
kepemilikan majemuk di sini adalah sumber daya yang dihasilkan tanpa adanya
ikut campur satu orang pun di dalamnya. Selain itu sumber-sumber tersebut bisa
didapatkan dengan mudah, ditambah lagi bahwa wujudnya adalah sesuatu yang
primer bagi kalangan majemuk.
Ada sebuah atsar yang sangat pas untuk menggambarkan posisi
pemimpin dari pada kepemilikan umum ini. Umar bin Khattab berkata “barang siapa
yang ingin meminta harta (umum) maka hendaklah ia datang padaku. Karena
sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan aku penjaga (khâzin) baginya.” Dari
ungkapan yang singkat ini setidaknya dapat diambil dua hal. Yang pertama adalah
tugas seorang khalifah, yaitu menjaga serta mendistribusikan harta tadi dengan
adil. Yang kedua bahwasanya pemerintahan tidak berkepentingan untuk ikut andil
dalam masalah produksi. Tugas pemerintah tidak lain memberi pengarahan dan
peninjauan.
Inilah sistem Islam yang memadukan antara kepemilikan
individual dan kepemilikan umum serta membuat batasan dan aturan antara
keduanya. Diantara kelebihannya adalah seputar penetapan zakat, kharraj,
jizyah, usyur, dan lain sebagainya. Dan era kegemilangan Islam pada zaman
abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Harun ar Rasyid tidak lepas dari
peletakan dasar ekonomi Islam yang matang dan rapi serta pelaksanaannya yang
penuh amanat. Bahkan diantara syarat untuk menjadi pegawai pajak adalah baik
agamanya, amanat, menguasai ilmu fikih dan lain-lain sebagaimana yang
disebutkan dalam kitab al Kharraj milik Abu Yusuf.
Tidak heran dengan ketetapan-ketetapan finansial yang
berasaskan agama dalam buku al Kharraj menjadikan umat Islam pada masa Abasiyah
merasakan kemakmuran yang dahsyat. Tercatat bahwa dari pajak kharraj saja pada
masa Harun ar Rasyid mencapai 7 juta dirham dan kemudian meningkat pesat pada masa
al Mu’tashim menjadi 30 miliar dirham. Itu baru dihitung dari segi kharraj
tanpa memasukkan sumber pendapatan lain dari berbagai macam jenis keuangan
publik seperti zakat dan lain sebagainya.
Kunjungi Lapak Kami Dhamar Mart,,, Harga kesepakatan penjual dan pembeli.
Instagram @dhamar_mart
Instagram @dhamar_hijab
FB Dhamar Mart
Instagram @dhamar_mart
Instagram @dhamar_hijab
FB Dhamar Mart
Share it to your friends..!
0 comments "Dasar-dasar Sistem Ekonomi Islam", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment
Anda peminat madu asli?
Kunjungi target='blank'>Amiriyah madu