Saturday, April 22, 2017

Bentuk dan Substansi Agama-Agama Perspektif Perennial

Pendahuluan

            Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, inti dari pandangan filsafat perennial adalah bahwa setiap agama dan tradisi-tradisi esoterik ada suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama, yang muncul melalui beragam nama dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan simbol. Nama dan bungkus tersebut, tetap bukanlah merupakan tujuan, melainkan lebih merupakan suatu jalan agar manusia bisa terbebas dari belenggu-belenggu dunia material yang cenderung menyengsarakan[1].
            Paul F. Knitter dalam bukunya "No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes, Toward the World Religion" mengatakan "Anda tidak dapat mengatakan bahwa agama yang satu lebih baik dari yang lain", semua agama pada dasarnya relatif, yaitu terbatas, parsial, tidak lengkap, sebagai jalan dalam melihat sesuatu[2].
            Dalam konteks agama-agama, Huston Smith menerima adanya the common vision, yang berarti menghubungkan kembali the many, dalam hal ini adalah realitas eksoteris agama-agama, kepada asalnya The One yaitu Tuhan. Sehingga kesan empiris tentang adanya agama-agama yang majemuk itu, tidak hanya berhenti sebagai fenomena faktual saja, tetapi kemudian dilanjutkan bahwa ada satu realitas yang menjadi pengikat yang sama dari agama-agama tersebut. Kalangan perennial biasa menyebut The Common vision of the world religions dari Huston Smith dengan istilah "kesatuan trasenden agama-agama" (Transcendent Unity of Religions)[3].

Bentuk dan Substansi Agama-Agama Perspektif Perennial
Pendekatan perennial terhadap agama, apapun nama agama itu selalu menghubungkan dengan substansinya, yaitu inti ajaran agama yang keberadaannya di balik bentuk formalnya. Substansi ini bersifat transenden tetapi sekaligus imanen. Ia trasenden karena substansi agama sulit didefinisikan dan tidak terjangkau kecuali melalui predikatnya. Namun begitu agama juga imanen karena sesungguhnya hubungan antara predikat dan substansi tidak mungkin terpisahkan. Kalau saja substansi agama bisa dibuat hirarki, maka substansi agama yang paling primordial hanyalah satu. Ia bersifat perennial, tidak terbatas karena ia merupakan pancaran dari yang mutlak[4].
Schoun mengatakan bahwa "Setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi"[5]. Bentuk agama adalah relatif, namun didalamnya terdapat muatan substansial yang mutlak. Karena agama merupakan gabungan antara substansi dan bentuk, maka agama kemudian menjadi sesuatu yang absolut tapi relatif (Relatively-Absolute)[6].
Schoun mengatakan "Secara esoteris, atau dalam pengertian substansi, klaim ataupun pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh suatu agama bersifat mutlak. Tetapi, secara eksoterik, atau dalam pengertian bentuk, atau pada tingkat keberagamaan manusiawi, pernyataan-pernyataan tersebut mau tidak mau menjadi relatif"[7]. Dengan demikian, keberagamaan yang hanya mengandalkan bentuk tidak menjadi satu-satunya sarana penyelamat. Ia masih diterima kebenarannya sebatas merupakan derivasi spiritual dari substansi yang absolut. Setiap bentuk adalah terbatas, dan setiap agama pada dimensi eksoteriknya adalah suatu bentuk, sedangkan sifat kemutlakan yang dimilikinya hanya dalam esensi hakiki dan supraformalnya saja. Contoh yang amat nyata: apabila orang ibadah haji hanya untuk menyembah bangunan ka'bah, maka ia telah terjatuh dalam kemusyrikan[8].
Meminjam ungkapan Abu Ja'far al-Shadiq, kata Allah sendiri artinya Yang Dipuja. Maka barangsiapa memuja Allah (tanpa mengacu pada substansi-Nya), maka ia telah kafir. Dan barangsiapa memuja Allah (nama dan substansi-Nya sekaligus), maka ia telah musyrik. Tetapi barangsiapa yang memuja Dzat yang diacu oleh kata Allah itu, barulah benar tauhidnya[9].
Fenomena agama yang muncul ke permukaan, biasanya melupakan makna hakikinya. Memang betul bahwa bentuk (eksoterisme) memberikan identitas secara spesifik terhadap sebuah agama,. Lebih dari itu, ketika substansi telah terlembagakan ia menuntut penolakan secara tegas dan keras terhadap bentuk yang lain. Lain halnya dengan perennial, mereka menganggap bahwa dibalik bentuk-bentuk (keagamaan) lahiriah yang berbeda itu, sebenarnya terdapat kesamaan substansial sehingga agama yang satu memperkuat yang lain, bukannya malah ingin menghapuskan. Misalnya, Sayyid Ali Hamadani, seorang yang telah mengubah Kashmir menjadi Islam, ketika mengenal Lalla Yogiswa, seorang yogi wanita cantik dari kalangan Hindu. Walaupun mereka berbeda keyakinan, akan tetapi kedua orang suci itu saling menghormati satu sama lain[10].
Pengakuan akan adanya kebenaran pada bentuk agama yang kita anut memang harus dipertahankan. Akan tetapi, pengakuan semacam ini juga harus memberi tempat bagi bentuk agama lain juga sebagai kebenaran yang diakui secara mutlak oleh para pemeluknya[11].
Memang benar, bahwa setiap wahyu dari agama yang lahir kemudian selalu menolak agama sebelumnya. Namun, seperti yang ditegaskan Schoun[12], pandangan semacam ini hanya benar secara simbolis. Artinya, bahwa wahyu yang ditolak itu hanya sebatas bentuk-bentuk agamanya, bukan substansinya. Misalnya, penolakan kaum Muslim terhadap ajaran Nasrani, sejauh pada tingkat bentuk bisa dibenarkan, karena dilihat dari kaca mata seorang Muslim itu merupakan penyelewengan. Misal yang lain, pertentangan antara Gereja Latin dan Gereja Yunani, pertentangan ini sama sekali tidak mempengaruhi hakikat intrinsik kedua Gereja tersebut[13]. Artinya, perpecahan itu hanya terjadi pada tingkat bentuk, sedangkan pada alam dalamnya tetap utuh[14].
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa agama Yahudi dan Kristen menampakkan dua wajah yang saling bertentangan. Pada Yahudi, pesan agama menjadi sangat khusus hanya untuk bangsa Israel, dan juga Tuhan yang mereka persepsikan adalah Tuhan yang Maha Otoriter, sementara mereka bagaikan budak yang menunggu perintah. Pada Kristen, karena dianggap pembenaran dan peneguhan terhadap doktrin mesianisme Yahudi, maka Kristus hadir sebagai sabda Ilahi yang Maha Kuasa, yang karena formalismenya, menjadi sangat sempit. Maksudnya, kehadiran Kristus secara historis dimaksudkan sebagai kritik dan sekaligus peneguhan terhadap paham mesianisme Yahudi[15].
Kemudian, dua wajah monoteisme Yahudi dan Kristen itu dirangkum oleh Islam dengan menyelaraskan pertentangan tersebut dalam satu sintesis. Disinilah Islam datang sebagai peneguh, pengkritik dan sekaligus penyempurna terhadap dua agama sebelumnya. Karena dengan lahirnya agama Islam siklus perkembangan agama monoteime berakhir, sebab Islam menghadirkan kembali keseimbangan yang pertama kali terdapat pada monoteisme Ibrahim. Keseimbangan yang maksud adalah keseimbangan esoteris dan eksoteris[16].
Namun demikian, dua monoteisme sebelum Islam tersebut secara substansial tetap saja tidak bisa dibatalkan. Sebab, dua corak keberagamaan dari dua monoteime Musa dan Kristus itu merupakan concern bagi umat manusia, dengan suatu keputusan memilih salah satunya atau kedua-duanya[17].
Jadi, semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini adalah sama validnya, karena pada hakikatnya semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respon yang berbeda yang dilakukan manusia yang hidup dalam tradisi keagamaan tertentu terhadap sebuah reality trasenden yang satu dan sama[18], dan dengan demikian, semuanya merupakan "Authentic Manifestations of the Real",[19] Ringkasnya, semua agama secara relatif adalah sama, dan tak ada satu pun agama yang berhak mengklaim diri "the uniqueness of truth and salvation" sebagai satu-satunya kebenaran atau satu-satunya jalan menuju keselamatan[20].

Wilayah Esoterik dan Eksoterik pada Agama-Agama Perspektif al-Attas
Menurut perspektif perennial dimensi esoteris dianggap lebih tinggi dibanding dimensi eksoteris. Istilah esoteris dimaknai sebagai pemahaman Tuhan pada tingkat Esensi. Maksudnya, Tuhan dipersepsikan sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna.
Menurut Syed Naquib al-Attas, konsep Tuhan pada level esoteris seperti anggapan kalangan perennial, adalah konsep yang keliru. Pengakuan akan adanya Tuhan saja tidak cukup. Sebabnya, Iblis juga mengakui Tuhan sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Jadi, memahami Tuhan hanya sebagai Esensi (Tuhan sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna), masih bisa sesat.
Konsep Tuhan dalam Islam bukan hanya mengakui-Nya sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Namun, menurut Islam,  pengakuan terhadap-Nya harus juga diikuti sekaligus dengan pengakuan untuk tidak menyekutukan-Nya dan tunduk kepada-Nya dengan cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui oleh-Nya seperti yang ditunjukkan oleh para rasul yang telah di utus-Nya.
Iblis juga mempercayai Tuhan yang satu, mengakui-Nya sebagai pencipta alam semesta, dalam al-Quran, ia masih di sebut kafir. Itu disebabkan pengingkaran kepada perintah Allah. Jadi, memahami dan mengakui Tuhan,  harus dengan mengikuti perintah, bentuk cara, jalan-Nya. Jadi, kalangan perennial keliru ketika menganggap dimensi eksoteris “lebih rendah” dari esoteris. Sebabnya, dimensi eksoteris justru merupakan penentu terhadap kebenaran esoterik[21].

Kesimpulan
Sebagaimana telah dipaparkan diatas, kalangan perennialis menganggap bahwa semua agama bersifat mutlak pada level esoterik, semua agama mempunyai substansi yang sama dan akan menuju kepada Yang Satu pada level esoterik. Dan pertentangan pada agama-agama hanya terjadi pada wilayah eksoterik atau pada tataran bentuk saja.
Akan tetapi, pada hakikatnya tidak bisa dipungkiri bahwa pengakuan terhadap Allah tidak bisa dicapai hanya dengan pengakuan akan adanya Tuhan, akan tetapi, harus juga diikuti sekaligus dengan pengakuan untuk tidak menyekutukan-Nya dan tunduk kepada-Nya dengan cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui oleh-Nya seperti yang ditunjukkan oleh para rasul yang telah di utus-Nya. 










Referensi
Hick, John, An Interpretation of Religion; Human Responses to the Transcendent, (London; Macmillan, 1989)
________, The Fifth Dimension, (Oxford; Oneworld, 1999)
Hidayat, Komaruddin, dan Muhamad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2003)
Schuon , Frithjof, Islam and the Perennial Philosophy, translated by J. Peter Hobson, World of Islam Festival Publishing Company Ltd., 1976
____________, The Transcendent Unity of Religion, Wheaton Illinois, the Philosophical Publishing House, 1984
Makalah Anis Malik Thoha, Mencermati Doktrin Pluralisme Agama, disampaikan pada seminar nasional dengan tema "Problem Epistemologi Pluralisme Agama" di Graha Watoe Dhakon STAIN Ponorogo, 4 Juli 2011,
Republika Online atau Koran Republika, Kamis 21/4/2011 kolom Jurnal Islamia, Kupas Tuntas Bahaya dan kekeliruan Paham Pluralisme




[1]  Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal: 41
[2]  Lebih lengkapnya lihat Paul F. Knitter, No Other Name; A Critical Survey of Christian Attitudes, Toward the World Religion, (New York; Orbis Book, 1985), Hal: 23
[3]   Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, op.cit., Hal: 8-9
[4]  Ibid, Hal: 109-110
[5] Frithjof Schuon, Islam and the Perennial Philosophy, translated by J. Peter Hobson, World of Islam Festival Publishing Company Ltd., 1976, Hal: 15
[6]  Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, op.cit., Hal: 110
[7]  Frithjof Schuon, op.cit., Hal: 16
[8]  Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, op.cit., Hal: 112-113
[9]   Abu Ja'far Muhammad, Al-Tawhid, Muassasah al-Nasyr al-Islami, Qum, Iran, 1389, Hal: 220
[10]   Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, op.cit., Hal: 113-114
[11]   Ibid, Hal: 115
[12] Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religion, Wheaton Illinois, the Philosophical Publishing House, 1984, Hal: 95-96
[13]  Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, op.cit., Hal: 115-116
[14] Penjelasan lebih luas mengenai hal ini, lihat Frithjof Schuon, The Transcendent… op.cit., Hal: 96
[15]  Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, op.cit., Hal: 121
[16]  Ibid, Hal: 122
[17]  Ibid, Hal: 123
[18]  John Hick, The Fifth Dimension, (Oxford; Oneworld, 1999), Hal: 10
[19] John Hick, An Interpretation of Religion; Human Responses to the Transcendent, (London; Macmillan, 1989), Hal: 247
[20]  Lihat makalah Anis Malik Thoha, Mencermati Doktrin Pluralisme Agama, disampaikan pada seminar nasional dengan tema "Problem Epistemologi Pluralisme Agama" di Graha Watoe Dhakon STAIN Ponorogo, 4 Juli 2011, Hal: 3
[21]  Republika Online atau Koran Republika, Kamis 21/4/2011 kolom Jurnal Islamia, Kupas Tuntas Bahaya dan kekeliruan Paham Pluralisme






Oleh: Fadlurrahman Ashidqi / Mahasiswa Unida


Share it to your friends..!

Share to Facebook Share this post on twitter Bookmark Delicious Digg This Stumbleupon Reddit Yahoo Bookmark Furl-Diigo Google Bookmark Technorati Newsvine Tips Triks Blogger, Tutorial SEO, Info

0 comments "Bentuk dan Substansi Agama-Agama Perspektif Perennial", Baca atau Masukkan Komentar

Post a Comment

Anda peminat madu asli?
Kunjungi target='blank'>Amiriyah madu