Sunday, March 23, 2014

Sistem Ekonomi Islam Vs Sistem Ekonomi Konvensional

Sistem Ekonomi Islam merupakan Madzhab ekonomi islam, yang terjelma di dalammya bagaimana cara islam mengatur kehidupan perekonomian, dengan apa yang dimiliki dan ditunjukkan oleh madzhab ini tentang ketelitian cara berfikir yang terdiri dari nilai-nilai moral islam dan nilai-nilai ekonomi, atau nilai-nilai sejarah yang ada hubunganya dengan uraian sejarah masyarakat (M.Baqir As.Shadr, 1968)
Kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama. Walaupun demikian, kapitalisme sebenarnya tidak memiliki definisi universal yang bisa diterima secara luas.
Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi. Untuk mendapatkan modal-modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut.
Kemudian dalam praktik ekonomi Islam, menunjukkan adanya hal baru dibandingkan sistem-sistem klasik, berupa penekanannya yang tidak melulu pada pendekatan hasil (output), melainkan juga menekankan bagaimana prosesnya. Pendekatan proses ini menjadi penting dalam menentukan keberhasilan dalam sistem ekonomi Islam, karena jika penekanan pada hasil atau output saja, maka di dalamnya akan melahirkan pola yang cenderung eksploitatif karena tujuan menentukan cara, atau yang lazim dikenal, tujuan menghalalkan segala cara.
Sistem ekonomi Islam muncul selari dengan perkembangan umat Islam itu sendiri. Hal ini ditandai dengan didirikannya institusi-institusi keuangan Islam yang mengamalkan sistem bebas riba/bunga. Realitinya, kebanyakan masyarakat masih ada yang belum mengenal sistem tersebut secara benar. Sebagian masyarakat bahkan ahli profesional dan ekonomi masih menganggap bahwa sistem ekonomi Islam akan menghadapi kesukaran dalam persaingan dengan sistem keuangan konvensional. Ia (sistem ekonomi konvensional) cenderung lebih cepat berkembang dan bergerak lebih depan dalam era globalisasi. Karena kebanyakan sistem keuangan dunia masih bergantung kepada sistem yang berbasiskan kepada bunga.
Terdapat suatu anggapan bahwa salah satu masalah yang dihadapi oleh sistem ekonomi Islam ialah sistem tersebut tidak mampu mengalokasikan sumber secara optimum. Hal ini disebabkan bahwa bunga adalah harga. Pendapat lain mengatakan jika tidak ada bunga sebagaimana dalam sistem ekonomi Islam dana pinjaman akan diberikan kepada peminjam secara sukarela sehingga permintaan terhadap pinjaman mengalami lonjakan sehingga tidak ada suatu mekanisme yang dapat mengembangkan permintaan dan penawaran. Artinya, bahwa bunga merupakan satu-satunya kekuatan, jika tidak, sumber keuangan akan digunakan secara tidak efisien bagi masyarakat.
Berbeda dari sistem ekonomi konvensional, di dalam sistem ekonomi Islam dana akan tersedia jika ada biaya dan biaya tersebut terdapat di dalam konsep keuntungan. Tingkat keuntungan menjadi kriteria untuk mengalihkan sumber sekaligus untuk membuat keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Semakin besar keuntungan yang diharapkan dari suatu perniagaan semakin besar pula tawaran dana dalam perniagaan tersebut. Apabila keuntungan aktual suatu perniagaan senantiasa lebih rendah dari yang diharapkan maka perniagaan tersebut akan mengalami kesulitan meningkatkan dana di masa depan.
Strategi Efektif Pengembangan Sistem Ekonomi Islam Di Indonesia.
Setelah sebelumnya telah dipaparkan kendala dan tantangan yang dihadapi dalam pengembangan sistem ekonomi Islam di Indonesia, maka ke depan harus dilakukan langkah-langkah atau strategi pengembangan untuk pengimplementasian sistem Ekonomi Islam secara lebih optimal, diantaranya yaitu:
-          Harus ada wakil yang menyuarakan sistem ekonomi Islam, khususnya di bidang politik.
-          Mengadakan seminar, diskusi, sarasehan, dan forum-forum ilmiah baik secara regional, nasional maupun internasional dengan intensif
-          Penyusunan ketentuan-ketentuan sistem ekonomi Islam
-          Mendorong terbentuknya Forum Komuniasi Syariah
-          Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dengan fokus pada gerakan edukasi dan sosialisasi yang dilakukan secara optimal dan tepat
-          Penelitian preferensi dan perilaku konsumer terhadap lembaga-lembaga syariah
-          Mempersiapkan teknologi informasi yang handal
-          Mempersiapkan lembaga penjamin pembiayaan Syariah
-          Mendorong terbentuknya Islamic Trade Center
-          Memberdayakan pengawasan aspek Syariah
-          Dll.
Beberapa batasan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
Sistem Ekonomi Islam merupakan Madzhab ekonomi islam, yang terjelma di dalammya bagaimana cara islam mengatur kehidupan perekonomian, dengan apa yang dimiliki dan ditunjukkan oleh madzhab ini tentang ketelitian cara berfikir yang terdiri dari nilai-nilai moral islam dan nilai-nilai ekonomi, atau nilai-nilai sejarah yang ada hubunganya dengan uraian sejarah masyarakat (M.Baqir As.Shadr, 1968)
Sistem Ekonomi Kapitalis (Liberalis) : Suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada azas
Lisses Faire, Laisses Aller, kesejahteraan umum akan tercapai dengan sendirinya jika setiap orang, setiap individu dibiarkan bebas tanpa adanya campur tangan pemerintah; karena didorong oleh kepentingannya pribadi, maka produksi akan disempurnakan dan terus meningkat dengan sendirinya (Adam Smith, 1775. terjemahan).

Dasar-dasar Sistem Ekonomi Islam

Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah kepada Sang Pencipta, sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan bumiNya dengan adil. Maka dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa dimanfaatkan dan menjadikan manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu agar dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari prinsip penciptaan dan konsep kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik benang merah untuk membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi kepentingan umum. Tetapi di sini penulis berusaha fokus pada masalah kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan kepemilikan umum) yang bertentangan dengan sosialis maupun kapitalis.

a.       Kepemilikan Individual
Manusia diciptakan dengan fitrah yang sudah ditetapkan oleh Allah dan tidak akan keluar dari fitrah tersebut. Hal itu sesuai dengan dengan firmanNya surat  ar Rum ayat 30 “30.  Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Kemudian ada sebuah hadits yang juga berbicara tentang hal yang sama “Tidaklah seseorang itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”
Ketika fitrah yang dimaksudkan adalah hal yang mencakup segala aspek kehidupan, maka apa sebenarnya fitrah manusia dalam hal keuangan dan perkonomian? Allah berfirman dalam surat al ‘Adiyat ayat 8 “Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya kepada harta.” Meskipun para ahli tafsir mempunyai perbedaan pendapat tentang hakekat dari ‘berlebihan’ dalam hal kecintaan mereka ini, tapi perbedaan itu tidak begitu jauh, yang intinya manusia itu menyukai harta. Dalam Shohih Muslim disebutkan “Andai kata seorang anak Adam mempunyai 2 lembah yang berisi harta, niscaya mereka akan mencari yang ketiga.”
Berlandaskan dari nash yang disebutkan di atas, maka syariah memberi jawaban untuk fitrah dari model ekonomi Islam, yaitu kepemilikan individual. Tetapi kepemilikan individual di sini tidak sama  sebagai mana yang ada pada kapitalisme yang malah menjerumuskan manusia pada kecintaan materi. Maka kepemilikan individual dalam Islam memiliki batas-batas, ketentuannya, serta kewajibannya sendiri yang nantinya akan saling melengkapi dengan kepemilikan umum sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelum ini.
Al Qur’an juga menerangkan dalam beberapa ayat yang menisbahkan harta kepada individual, diantaranya adalah “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” Atau ayat lain “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu.”. Jika dihitung, maka setidaknya kita akan mendapatkan 54 ayat yang menisbahkan harta kepada individual, dan itu belum termasuk bentuk kalimat yang tidak langsung.
Kepemilikan individual yang sudah dijelaskan di atas sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip kepemilikan mutlak yang dinisbahkan kepada Sang Pencipta Alam. Atau dengan kata lain bahwa pemilik haqiqi sebenarnya Allah. Disebutkan dalam firmanNya “107.  Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?” Maka Dialah Sang Pemilik yang mempunyai segalanya tanpa batasan dan ketentuan. Adapun posisi dan fungsi manusia tidak lain hanyalah sebagai khalifah di atas bumi.
Tidak adanya pertentangan antara kepemilikan haqiqiNya dengan kepemilikan individual manusia sebagai khalifah di atas bumi ini tidak jauh beda dengan kepemilikan ilmu yang dinisbahkan kepadaNya juga. Allah mempunyai sifat al milku (kepemilikan) dan juga sifat al ‘ilmu, ar rahmân dan berbagai macam sifat lainnya. Sebagaimana manusia memiliki al ‘ilmu dan ar rahmân dengan karakteristiknya sebagai ‘yang diciptakan’ dan bukan Yang Menciptakan. Maka dari itu tidak mungkin kita sifati manusia dengan al ‘ilmu yang dimiliki Sang Pencipta. Kita menyandarkan suatu sifat kepada manusia tidak lain berdasarkan pada sesuatu parsial, dan bukan keuniversalan dari sifat tadi karena sifat-sifat tersebut tidak lain adalah milikNya semata.

b.      Kepemilikan Umum
Dr. Robi’ Mahmud Ruby menerangkan yang dimaksud dengan kepemilikan umum dalam Islam yaitu segala sesuatu yang bukan merupakan kepemilikan individual. Di sini Dr. Robi’ membagi kepemilikan individual menjadi 2:
1.      Kepemilikan negara
Dr. Robi’ menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan negara di sini bisa diartikan layaknya kepemilikan individual milik negara. Maka yang termasuk dalam golongan ini adalah berbagai firma serta perusahaan atau lembaga-lembaga lain yang mana seorang pemimpin negara atau pejabat pemerintahan mempunyai hak dalam mengelolanya. Tentunya hak ini berasaskan maslahat dari rakyat sang pemimpin tersebut. Sedangkan Dr. Dawabah menambahkan bahwa yang termasuk dalam golongan ini nantinya bisa menjadi sumber pemasukan untuk baitul mal yang kemudian pemerintah menggunakannya untuk hal-hal yang mengandung maslahat umum.
2.      Kepemilikan majemuk dari masyarakat
Sudah maklum bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari beberapa orang atau individu. Maka yang dimaksudkan dengan kepemilikan majemuk ini adalah segala jenis sumber daya yang bisa dipergunakan oleh majemuk dari masyarakat dimana tidak ada satu individu yang boleh memilikinya secara pribadi. Diantaranya adalah jalan, air, api, rumput lapang, jembatan dan sumber daya lain yang sejenisnya. Maka dalam bahasa lain bisa diartikan bahwa kepemilikan majemuk di sini adalah sumber daya yang dihasilkan tanpa adanya ikut campur satu orang pun di dalamnya. Selain itu sumber-sumber tersebut bisa didapatkan dengan mudah, ditambah lagi bahwa wujudnya adalah sesuatu yang primer bagi kalangan majemuk.
Ada sebuah atsar yang sangat pas untuk menggambarkan posisi pemimpin dari pada kepemilikan umum ini. Umar bin Khattab berkata “barang siapa yang ingin meminta harta (umum) maka hendaklah ia datang padaku. Karena sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan aku penjaga (khâzin) baginya.” Dari ungkapan yang singkat ini setidaknya dapat diambil dua hal. Yang pertama adalah tugas seorang khalifah, yaitu menjaga serta mendistribusikan harta tadi dengan adil. Yang kedua bahwasanya pemerintahan tidak berkepentingan untuk ikut andil dalam masalah produksi. Tugas pemerintah tidak lain memberi pengarahan dan peninjauan.
Inilah sistem Islam yang memadukan antara kepemilikan individual dan kepemilikan umum serta membuat batasan dan aturan antara keduanya. Diantara kelebihannya adalah seputar penetapan zakat, kharraj, jizyah, usyur,  dan lain sebagainya. Dan era kegemilangan Islam pada zaman abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Harun ar Rasyid tidak lepas dari peletakan dasar ekonomi Islam yang matang dan rapi serta pelaksanaannya yang penuh amanat. Bahkan diantara syarat untuk menjadi pegawai pajak adalah baik agamanya, amanat, menguasai ilmu fikih dan lain-lain sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al Kharraj milik Abu Yusuf.
Tidak heran dengan ketetapan-ketetapan finansial yang berasaskan agama dalam buku al Kharraj menjadikan umat Islam pada masa Abasiyah merasakan kemakmuran yang dahsyat. Tercatat bahwa dari pajak kharraj saja pada masa Harun ar Rasyid mencapai 7 juta dirham dan kemudian meningkat pesat pada masa al Mu’tashim menjadi 30 miliar dirham. Itu baru dihitung dari segi kharraj tanpa memasukkan sumber pendapatan lain dari berbagai macam jenis keuangan publik seperti zakat dan lain sebagainya.