Sunday, March 23, 2014

Dasar-dasar Sistem Ekonomi Islam

Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah kepada Sang Pencipta, sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan bumiNya dengan adil. Maka dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa dimanfaatkan dan menjadikan manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu agar dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari prinsip penciptaan dan konsep kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik benang merah untuk membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi kepentingan umum. Tetapi di sini penulis berusaha fokus pada masalah kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan kepemilikan umum) yang bertentangan dengan sosialis maupun kapitalis.

a.       Kepemilikan Individual
Manusia diciptakan dengan fitrah yang sudah ditetapkan oleh Allah dan tidak akan keluar dari fitrah tersebut. Hal itu sesuai dengan dengan firmanNya surat  ar Rum ayat 30 “30.  Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Kemudian ada sebuah hadits yang juga berbicara tentang hal yang sama “Tidaklah seseorang itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”
Ketika fitrah yang dimaksudkan adalah hal yang mencakup segala aspek kehidupan, maka apa sebenarnya fitrah manusia dalam hal keuangan dan perkonomian? Allah berfirman dalam surat al ‘Adiyat ayat 8 “Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya kepada harta.” Meskipun para ahli tafsir mempunyai perbedaan pendapat tentang hakekat dari ‘berlebihan’ dalam hal kecintaan mereka ini, tapi perbedaan itu tidak begitu jauh, yang intinya manusia itu menyukai harta. Dalam Shohih Muslim disebutkan “Andai kata seorang anak Adam mempunyai 2 lembah yang berisi harta, niscaya mereka akan mencari yang ketiga.”
Berlandaskan dari nash yang disebutkan di atas, maka syariah memberi jawaban untuk fitrah dari model ekonomi Islam, yaitu kepemilikan individual. Tetapi kepemilikan individual di sini tidak sama  sebagai mana yang ada pada kapitalisme yang malah menjerumuskan manusia pada kecintaan materi. Maka kepemilikan individual dalam Islam memiliki batas-batas, ketentuannya, serta kewajibannya sendiri yang nantinya akan saling melengkapi dengan kepemilikan umum sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelum ini.
Al Qur’an juga menerangkan dalam beberapa ayat yang menisbahkan harta kepada individual, diantaranya adalah “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” Atau ayat lain “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu.”. Jika dihitung, maka setidaknya kita akan mendapatkan 54 ayat yang menisbahkan harta kepada individual, dan itu belum termasuk bentuk kalimat yang tidak langsung.
Kepemilikan individual yang sudah dijelaskan di atas sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip kepemilikan mutlak yang dinisbahkan kepada Sang Pencipta Alam. Atau dengan kata lain bahwa pemilik haqiqi sebenarnya Allah. Disebutkan dalam firmanNya “107.  Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?” Maka Dialah Sang Pemilik yang mempunyai segalanya tanpa batasan dan ketentuan. Adapun posisi dan fungsi manusia tidak lain hanyalah sebagai khalifah di atas bumi.
Tidak adanya pertentangan antara kepemilikan haqiqiNya dengan kepemilikan individual manusia sebagai khalifah di atas bumi ini tidak jauh beda dengan kepemilikan ilmu yang dinisbahkan kepadaNya juga. Allah mempunyai sifat al milku (kepemilikan) dan juga sifat al ‘ilmu, ar rahmân dan berbagai macam sifat lainnya. Sebagaimana manusia memiliki al ‘ilmu dan ar rahmân dengan karakteristiknya sebagai ‘yang diciptakan’ dan bukan Yang Menciptakan. Maka dari itu tidak mungkin kita sifati manusia dengan al ‘ilmu yang dimiliki Sang Pencipta. Kita menyandarkan suatu sifat kepada manusia tidak lain berdasarkan pada sesuatu parsial, dan bukan keuniversalan dari sifat tadi karena sifat-sifat tersebut tidak lain adalah milikNya semata.

b.      Kepemilikan Umum
Dr. Robi’ Mahmud Ruby menerangkan yang dimaksud dengan kepemilikan umum dalam Islam yaitu segala sesuatu yang bukan merupakan kepemilikan individual. Di sini Dr. Robi’ membagi kepemilikan individual menjadi 2:
1.      Kepemilikan negara
Dr. Robi’ menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan negara di sini bisa diartikan layaknya kepemilikan individual milik negara. Maka yang termasuk dalam golongan ini adalah berbagai firma serta perusahaan atau lembaga-lembaga lain yang mana seorang pemimpin negara atau pejabat pemerintahan mempunyai hak dalam mengelolanya. Tentunya hak ini berasaskan maslahat dari rakyat sang pemimpin tersebut. Sedangkan Dr. Dawabah menambahkan bahwa yang termasuk dalam golongan ini nantinya bisa menjadi sumber pemasukan untuk baitul mal yang kemudian pemerintah menggunakannya untuk hal-hal yang mengandung maslahat umum.
2.      Kepemilikan majemuk dari masyarakat
Sudah maklum bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari beberapa orang atau individu. Maka yang dimaksudkan dengan kepemilikan majemuk ini adalah segala jenis sumber daya yang bisa dipergunakan oleh majemuk dari masyarakat dimana tidak ada satu individu yang boleh memilikinya secara pribadi. Diantaranya adalah jalan, air, api, rumput lapang, jembatan dan sumber daya lain yang sejenisnya. Maka dalam bahasa lain bisa diartikan bahwa kepemilikan majemuk di sini adalah sumber daya yang dihasilkan tanpa adanya ikut campur satu orang pun di dalamnya. Selain itu sumber-sumber tersebut bisa didapatkan dengan mudah, ditambah lagi bahwa wujudnya adalah sesuatu yang primer bagi kalangan majemuk.
Ada sebuah atsar yang sangat pas untuk menggambarkan posisi pemimpin dari pada kepemilikan umum ini. Umar bin Khattab berkata “barang siapa yang ingin meminta harta (umum) maka hendaklah ia datang padaku. Karena sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan aku penjaga (khâzin) baginya.” Dari ungkapan yang singkat ini setidaknya dapat diambil dua hal. Yang pertama adalah tugas seorang khalifah, yaitu menjaga serta mendistribusikan harta tadi dengan adil. Yang kedua bahwasanya pemerintahan tidak berkepentingan untuk ikut andil dalam masalah produksi. Tugas pemerintah tidak lain memberi pengarahan dan peninjauan.
Inilah sistem Islam yang memadukan antara kepemilikan individual dan kepemilikan umum serta membuat batasan dan aturan antara keduanya. Diantara kelebihannya adalah seputar penetapan zakat, kharraj, jizyah, usyur,  dan lain sebagainya. Dan era kegemilangan Islam pada zaman abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Harun ar Rasyid tidak lepas dari peletakan dasar ekonomi Islam yang matang dan rapi serta pelaksanaannya yang penuh amanat. Bahkan diantara syarat untuk menjadi pegawai pajak adalah baik agamanya, amanat, menguasai ilmu fikih dan lain-lain sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al Kharraj milik Abu Yusuf.
Tidak heran dengan ketetapan-ketetapan finansial yang berasaskan agama dalam buku al Kharraj menjadikan umat Islam pada masa Abasiyah merasakan kemakmuran yang dahsyat. Tercatat bahwa dari pajak kharraj saja pada masa Harun ar Rasyid mencapai 7 juta dirham dan kemudian meningkat pesat pada masa al Mu’tashim menjadi 30 miliar dirham. Itu baru dihitung dari segi kharraj tanpa memasukkan sumber pendapatan lain dari berbagai macam jenis keuangan publik seperti zakat dan lain sebagainya.

Share it to your friends..!

Share to Facebook Share this post on twitter Bookmark Delicious Digg This Stumbleupon Reddit Yahoo Bookmark Furl-Diigo Google Bookmark Technorati Newsvine Tips Triks Blogger, Tutorial SEO, Info

0 comments "Dasar-dasar Sistem Ekonomi Islam", Baca atau Masukkan Komentar

Post a Comment

Anda peminat madu asli?
Kunjungi target='blank'>Amiriyah madu